Selasa, 11 September 2012

Hak dan Kewajiban Dewan Adat Dayak dalam Pembangunan


Hak dan Kewajiban Dewan Adat Dayak dalam Pembangunan

Pendahuluan
Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dirumus­kan bahwa hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia secara merata di seluruh Ta­nah Air. Pembangunan nasional tersebut meliputi beberapa bidang yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan na­sional, yang harus diperhatikan secara seimbang.
Makalah ini akan memaparkan beberapa hal tentang Dewan Adat Dayak Kanayatn sebagai satu-satunya wadah adat bagi suku Dayak Ka­nayatn di Kabupaten Pontianak. Melalui tulisan ini, akan dikemukakan eksistensi Dewan Adat dengan menyimak latar belakang pembentukan­nya, bidang tugas serta peranannya dalam pembangunan.
Eksistensi Dewan Adat Dayak Kanayatn merupakan pencerminan upaya masyarakat Kanayatn dalam menggali, melestarikan dan mengembangkan budaya adat melalui penerapan adat istiadat dan hu­kum adat pada kehidupan masyarakat. Pemerintah juga memandang penting pengembangan adat istiadat ini, seperti tercermin dari pidato Presiden Soeharto pada peringatan 12 tahun TMII: “Bangsa yang lupa budayanya akan kehilangan kepribadiannya, bangsa yang kehilangan kepribadiannya menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang lemah akan runtuh dari luar dan hancur dari dalam.”
Atas dasar itu bangsa Indonesia harus berusaha terus menerus me­melihara semua warisan budayanya. Sekali saja suatu generasi melupakan budayanya sendiri, maka warisan budaya itu akan lenyap. Demikian pula mengenai penerapan hukum adat, selain ditopang oleh landasan hukum dengan adanya Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959, pasal 24 UUD 1945 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 (Surojo Wignjodipuro SH Pengantar dan azas azas hukum adat), hukum adat di daerah ini masih perlu dilaksanakan dengan tidak mengesampingkan hukum nasional (Ceramah Hankamnas, oleh Bapak Letkol Pol. Sarwoko, Binmas Daer­ah Kepolisian Kalbar pada Penataran para Jurkam Golkar Tahun 1992 di Pontianak)
Penegasan yang hampir serupa pernah pula disampaikan oleh S.L. Tobing, SH, Kajati Kalbar pada kesempatan Penataran Para Kepala Adat se Kalimantan Barat Tahun 1982 di Wisma Merdeka Pontianak. Penegasan tersebut pada dasarnya mengkaitkan hubungan sifat sakral yang dominan pada hukum adat dengan faktor keamanan (Hankam­nas), karena kategori keamanan itu sendiri mencakup tidak adanya rasa takut, rasa terancam dan kegoncangan-kegoncangan batin.
Latar Belakang
Perkembangan dan penerapan adat istiadat dan hukum adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak cukup dapat dibanggakan. Adat istia­dat tetap dipelihara dan senantiasa dijaga kelestariannya, begitu pula hukum adat tetap dipatuhi pelaksanaannya, sehingga tak urung lagi pepatah mengatakan: “Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah,” merupakan suatu hal yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya.
Para fungsionaris adat yang pada waktu itu secara hirarki terdiri dari Kepala Ale’atn (gotong royong masyarakat), Tuha Tahutn (Kepala Tani), Kabayan (Sekretaris Desa), Tuha Bide (Kepala Desa atau Pasirah), Singa atau Pajanang (setingkat di bawah Temenggung) dan Bide Binua atau Temenggung Binua, pada umumnya dihormati dan berwibawa di dalam masyarakat.
Selain sebagai fungsionaris adat, mereka merupakan mediator antara Pemerintah dengan masyarakat. Seorang Temenggung misalnya, selain sebagai pimpinan adat tertinggi di dalam suatu Binua, ia juga sebagai atasan langsung Kepala Kampung, di bawah Camat. Demikian pula dapat kita lihat dari segi peningkatan karir, dimana seorang Kepala Kampung yang dianggap berprestasi dapat diangkat sebagai Temeng­gung. Begitu penting dan berwibawanya kedudukan seorang Temeng­gung dapat kita lihat juga dari haknya yang diberikan oleh masyarakat adat, yaitu:
  • Sapuluh amas (6 singkap pingatn putih) pada setiap hukuman petahi­latn.
  • Pamongo, pada waktu ngalati’ (berburu bersama).
  • Lintangan, pada waktu nabale nuba ikan.
  • Kalayangan, pada waktu menyelesaikan adat pengamar.
  • Ago laman, pada waktu mengadakan upacara adat totokng.
  • Siam bulu, pada waktu pembayaran adat Raga Nyawa.
  • Hari tampah dari masyarakat (gotong royong bagi Temenggung).
  • Tuah lepet, pada waktu musim durian.
  • Lantatn, pada waktu menyelesaikan urusan perkara.
  • Tulakng jilah, pada waktu menerima laporan perkara yang akan disidangkan oleh Temenggung.
  • Batu rukupm, pada waktu menyidangkan perkara rukupm.
  • Batu kalakng, pada waktu menyidangkan perkara kalakng.
Seorang Temenggung adalah “raja kecil” di desa, karena dilihat dari hak dan kewajibannya yang hampir menyerupai seorang raja. Na­mun akhir-akhir ini kehormatan itu semakin pudar. Bebarapa faktor yang mempengaruhinya antara lain yaitu :
  1. Perubahan dari pola hidup lama ke pola hidup baru yang dianggap maju dan modern, sehingga yang tradisional dianggap ketinggalan za­man.
  2. Masuknya agama baru seperti Katolik, Protestan dan Islam, karena bersama penyiaran agama agama itu dimasukkan pula kebudayaan baru. Dengan memeluksuatu agama tertentu diartikan harus mening­galkan seluruh adat istiadat lama.
  3. Ajaran PKI pada saat jayanya di tahun 60 an yang memandang para fungsionaris adat beserta adat istiadat sebagai produk feodal dan di­masukkan ke dalam daftar “tujuh setan desa”.
  4. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok pokok Pemerintahan di daerah yang memisahkan tugas Kepala Kampung dengan Temeng-gung/Kepala Adat secara tegas. Temeng­gung hanya merupakan aparat masyarakat belaka, sementara Kepala Kampung merupakan aparat pemerintahan. Kegiatan yang di bawah koordinasi Kepala Kampung cukup banyak sehingga timbul kesan Te­menggung “sudah tidak dipakai lagi”.
  5. Sering juga muncul orang yang mengaku sebagai kaum cerdik pan­dai yang suka mengambil alih tugas Temenggung dengan menangani langsung perkara adat yang terjadi di masyarakat.
Upaya untuk mengembalikan wibawa adat telah dirintis. Pada tanggal 23-25 Mei 1978 diadakan Musyawarah Adat se Kecamatan Sengah Temila yang berhasil membentuk Koordinator Adat di tingkat kecamatan yang membawahi 12 Temenggung dan 1 Punggawa. Wadah ini telah mampu mengkoordinir dan menertibkan pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat di Kecamatan Sengah Temila terutama dalam hal penyeragamannya.
Pada tanggal 23 25 Mei 1985 telah diadakan Musyawarah Adat I tingkat kabupaten bertempat di Anjungan dan dihadiri oleh wakil-wakil dari 10 (sepuluh) kecamatan dalam wilayah Kabupaten Pontianak. Dalam Musyawarah Adat tersebut dibentuklah Dewan Adat Dayak Ka­nayatn Kabupaten Pontianak, yang membawahi 10 (sepuluh) Dewan Adat Kecamatan yaitu di kecamatan-kecamatan Sungai Ambawang, Sungai Pinyuh, Mandor, Sengah Temila, Ngabang, Air Besar, Menyuke, Mempawah Hulu, Menjalin dan Toho.
Struktur Dewan Adat Dayak Kanayatn
Sesuai dengan Surat Keputusan Musyawarah Adat 11 Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak Nomor: X/KEP/Musdat II/DK Kab Pnk/1991 tanggal 12 Pebruari 1991 tentang komposisi dan personalia kepengurusan Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak periode 1991 1996, struktur Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak ter­diri dari Pelindung, Penasihat dan Pengurus yang dilengkapi dengan biro biro. Pengurus inti terdiri dari seorang ketua dan wakil wakilnya, seorang sekretaris dan wakil-wakilnya, seorang bendahara dan wakil wakilnya. Sedangkan biro-biro terdiri dari biro-biro budaya, usaha, or­ganisasi, dokumentasi, pemuda dan litbang/ perencanaan.
Biro budaya mempunyai cakupan luas yang meliputi pengembangan adat istiadat, hukum adat, bahasa adat, peraga adat, keper­cayaan adat dan seni budaya (yaitu seni tari dan musik, seni ukir, pahat dan lain lain).
Sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga De­wan Adat, masa kepengurusan ditentukan selama lima tahun. Dewan Adat Kabupaten dan Dewan Adat Kecamatan adalah organisasi adat yang merupakan Badan Musyarah Adat, bukan fungsion­aris adat. Tetapi Ketua Dewan Adat merangkap pula sebagai Temeng­gung/Kepala Adat sehingga menjadi fungsional. Pengukuhan mereka juga dilakukan secara adat. Sesuai dengan wilayah kerjanya ada Te­menggung Kabupaten, Temenggung Kecamatan dan Temenggung Bi­nua. Temenggung Binua dibantu oleh Pasirah dan Pangaraga di tingkat Desa dan Dusun.
Secara administratif Pangaraga bertanggung jawab kepada Pasirah; Pasirah bertanggung jawab kepada Temenggung Binua. Temenggung Binua bertanggung jawab kepada Temenggung Kecamatan; dan Te­menggung Kecamatan bertanggung jawab kepada Temenggung Kabu­paten. Sedangkan secara operasional, para fungsionaris adat tersebut di bawah pejabat pemerintah di tingkat masing-masing.
Fungsi Dewan Adat
  1. Dewan Adat merupakan satu-satunya wadah adat yang diharapkan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat adat dalam rangka menggali, melestarikan dan mengembangkan budaya adat secara terencana, terarah, dan terpadu.
  2. Merupakan sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat adat terutama dalam kegiatan pembangunan.
  3. Mengupayakan penyeragaman dan pencatatan (kodefikasi) adat is­tiadat dan hukum adat untuk menertibkan penerapannya guna menghindari praktek negatif seperti komersialisasi, intimidasi dan lain-lain.Dengan demikian diharapkan penanganan dan penyelesaian ka­sus kasus dapat dilaksanakan dengan benar, adil, dan bijaksana sesuai dengan motto: “Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata”. Dan posisi para fungsionaris adat dapat dipulihkan kembali, karena hanya para fungsionaris adat yang dibenarkan untuk menangani secara langsung kasus-kasus dan perkara adat.
Kewajiban
Hak dan kewajiban Dewan Adat tertuang di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Secara garis besar, kewajiban Dewan Adat adalah sebagai berikut.
  1. Melaksanakan Musyawarah Adat (Musdat) setiap 5 tahun sekali. Dalam musyawarah tersebut dilaksanakan pertanggungjawaban pengurus, penyegaran pengurus, peninjauan kembali AD/ART, penyusunan program kerja dan lain-lain. Dengan demikian, Dewan Adat merupakan pengemban dan pelaksana hasil Musyawarah Adat.
  2. Mengadakan pertemuan pertemuan adat guna membahas berbagai hal yang ada kaitannya dengan adat dan program pembangunan dari pemerintah. Misalnya dalam hal kependudukan, pertanian dan perke­bunan serta pariwisata. Dewan Adat membantu penyuluhan tentang Keluarga Berencana, penyuluhan pertanian, penjelasan tentang hak adat atas tanah, memberikan pertimbangan tentang pemanfaatan tenaga kerja daerah kepada perusahaan dan membantu penyelesaian kasus-kasus ganti rugi tanah.
  3. Menyelenggarakan dan mengikuti berbagai Seminar Adat yang menghimpun tokoh-tokoh adat, pemuka masyarakat dan kaum cendekiawan untuk menggali dan mengembangkan serta melestari­kan budaya adat.
  4. Menghimpun dana sumbangan sukarela dari masyarakat dan para do­natur, serta sumbangan dari pihak Pemerintah.
  5. Menggali, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat. Dewan Adat telah menetapkan beberapa upacara adat yaitu: Upacara adat LaId Nagari (setiap tanggal’28 Mei), Babatak Ngawah (5 Juni), Nabo’ Uma (7 Desember), Ngiliratn Antu Apat (17 Pebruari) dan Naik Dango (27 April). Gawe Naik Dango untuk tingkat Kabupaten diadakan secara bergiliran pada setiap kecamatan.
Kesimpulan
  1. Bahwa adat istiadat dan Hukum Adat Dayak Kanayatn di Kabupaten Pontianak sejak dahulu telah tumbuh dan berkembang serta dipatuhi oleh masyarakat adat.
  2. Hukum Adat tetap diberlakukan dengan tidak mengesampingkan Hukum Nasional.
  3. Pengaruh dan wibawa para fungsionaris adat berangsur-angsur pudar disebabkan oleh beberapa faktor yang diikuti pula dengan merosot­nya perkembangan adat istiadat dan penyimpangan-penyimpangan dalam penerapan hukum adat.
  4. Penanganan atas kasus dan perkara, adat secara langsung, tidak dibenarkan selain para fungsionaris adat, guna menghindari kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya, dan untuk memudahkan per­tanggungjawabannya.
  5. Dewan adat sebagai satu-satunya wadah adat merupakan alternatif pemecahan masalah untuk menertibkan penerapan adat istiadat dan hukum adat serta untuk menumbuhkan kembali kewibawaan para fungsionaris adat.
  6. Peranan Dewan Adat cukup banyak dalam menunjang pembangunan antara lain dalam bidang kependudukan (Gerakan KB), program Per­tanian Tanaman Pangan, program Perkebunan (membuka lapangan kerja bagi putra-putri setempat), pengembangan pariwisata daerah, pembebasan Tanah Adat (dengan memperhatikan perlindungan dan kelestarian ekosistem), dan pengembangan budaya.
  7. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Dewan.Adat merupa­kan penjabaran terhadap penghayatan dan pengamalan Pancasila dan UUD 1945 secara, murni dan konsekwen untuk memelihara persatu­an dan kesatuan bangsa.
Saran-Saran
  1. Agar setiap daerah di Kalimantan Barat, bahkan di seluruh wilayah Kalimantan, membentuk Dewan Adat, yang merupakan wadah adat, mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten hingga provinsi.
  2. Mengimbau kepada para pakar adat nasional melalui seminar ini, agar segera mengambil prakarsa untuk mengadakan musyawarah adat dengan mengikutsertakan wakil wakil/tokoh-tokoh adat dari setiap daerah, guna mencari pola yang tepat dalam pengembangan adat is­tiadat dan hukum adat.
  3. Agar pihak Pemerintah mempertimbangkan secara. serius pemben­tukan Departemen Kebudayaan, dipisahkan dari Departemen Pendidikan.
  4. Perlu dibentuk forum komunikasi budaya antar masyarakat Dayak se­bagaimana ide yang tertuang dalam kerangka acuan seminar ini.
Sumber
  • Sahudin, R.A. Rachmad, 1994. "Hak Dan Kewajiban Dewan Adat Dalam Pembangunan", dalam John Bamba (eds.)Kebudayaan Dayak:Aktualisasi dan Transformasi, Cetakan Ketiga, Institut Dayakologi, Pontianak, 2010.(hal.99-106)

0 komentar:

Posting Komentar