Tidak ada
catatan tertulis mengenai sejak kapan pemerintahan binua ada. Namun untuk bahan
rujukan, kisah terbentuknya pemerintahan binua dapat kita runut dari mitologi
penciptaan hukum adat Dayak Kanayatn yang diceritakan tetua-tetua adat secara
turun-temurun. Adalah Karohong dan Dayakng Dinar, sepasang suami istri dari
kampung Pakana yang mula-mula menyusun hukum adat khususnya adat perkawinan.
Susunan adat ini telah banyak yang menyetujuinya, tapi ada beberapa orang yang
menentang. Rombongan penentang ini dipimpin oleh Sule Sampayangan Bakuning
Bayar dengan seorang kawannya, Ure Nyabung Bakute Alo. Kedua orang ini sangat
menetang susunan hukum adat. Karena tidak ada kata sepakat, terjadi pertempuran
sengit antara Sule Sampayangan Bakuning Bayar dan Ure Nyabung Bakute Alo dengan
Karohong dan istrinya yang mengakibatkan sepasang suami istri ini tewas.
Pertempuran terus berlanjut, pendukung susunan hukum adat selanjutnya dipimpin
oleh Udana, seorang yang bergelar Singa. Oleh Singa Udana, kedua orang
penentang ini tewas. Dengan kemenangan yang gemilang, Singa Udana telah dapat
mempertahankan serta melanjutkan cita-cita berhukum adat, yang telah
menertibkan hidup berkeluarga masyarakat.
Ramaga, anak tertua Singa Udana menggantikan bapaknya menjadi pemimpin rakyat.
Oleh Ramaga, suatu hari diundang kekampungnya 2 orang Singa disepanjang daerah
aliran sungai Karimawatn ( kini sungai mempawah ), yakni Singa Matas yang
berkuasa atas tanah binua disebelah kanan mudik sungai karimawatn yang
melingkungi daerah Pakana dan seluruh kampung-kampung dipesisir sebelah kanan
sungai karimawatn. Matas tinggal dikampung Titi Antu,yangterletak dipinggir
sungai mempawah yakni antara binua Ohak dengan Binua Samayak . Matas tinggal
bersama istrinya yang bernama Dale Nibukng dengan anak-anaknya Icap, Rawa dan
Raga. Kelak anak-anak Matas ini menjadi kepala binua/ Singa juga. Serta Taguh
alias Usutn, seorang Singa yang berkuasa disebelah kiri mudik sungai
karimawatn. Kedua orang ini sebenarnya adik-beradik. Hukum adat yang dipegang
oleh kedua saudara ini menarik perhatian pemerintah Landscaap ( Kolonial Belanda
). Oleh pemerintah, seluruh Tuha Kampokng ( Kepala Kampung ) dan Singa diundang
berkumpul dan merumuskan serta menuliskannya. Pertemuan itu diadakan dikampung
Sunga’. Kemudian hari untuk mengenang pertemuan itu, nama kampung ini diubah
menjadi Karangan .
Untuk melengkapi argumen diatas, mari kita lihat sejarah kerajaan Mempawah
sekarang. Sebelum terkenalnya nama kerajaan Mempawah, telah ada jauh kebelakang
berdiri sebuah perkampungan besar yang dihuni warga Dayak yang sangat populer
dipimpin oleh seorang Panglima yang sangat sakti bernama Gumantar. Beliau
bergelar Patih. Pusat perkampungan ( pemerintahan ) Gumantar berkedudukan di
dekat pegunungan Sadaniang daerah Sangking sekarang. Perkampungan yang dipimpin
oleh Gumantar sangat mewah, ramai dan terkenal hingga diseluruh penjuru negeri.
Kemasyuran komunitas ini kemudian merangsang Patih Gajahmada dari Kerajaan
Majapahit untuk berkunjung dalam rangka mempersatukan seluruh nusantara.
Sebagai tanda persahabatan, Patih Gajahmada memberikan keris Susuhan kepada
Gumantar. Keris ini hingga kini masih disimpan oleh rakyat di kampung Pakana .
Untuk mengenang Patih Gajahmada, seluruh rakyat di wilayah Sadaniang hingga
Pakana kemudian menganugerahi Gumantar dengan gelar Patih. Patih Gumantar mati
dikayau oleh suku Biaju kira-kira tahun 1400 . Kira-kira tahun 1610,
pemerintahan Patih Gumantar kemudian dilanjutkan oleh seseorang yang tidak
mempunyai kaki dan tangan sejak lahir sehingga ia diberi nama Kudung . Karena
kesaktiannya ia diangkat oleh rakyat menjadi pemimpin dan bergelar Panembahan
Na’ Bapusat Nang Badarah Putih. Oleh Kudung, pusat pemerintahan kemudian
dipindahkan ke Pakana. Beliau hidup aman dan sejahtera dengan istrinya yang
bernama Putri Berkelim. Setelah Kudung wafat dan dimakamkan disebuah bukit ,
belakang kampung Pakana sekarang, Sengaok diangkat rakyat menjadi pemimpin
selanjutnya. Sengaok kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Pakana ke
kampung Singaok, hilir sungai karimawatn . Pemimpin ini suka sekali
berpetualang, berlayar dari satu pulau kepulsu lainnya untuk menambah
kesaktiannya. Ia juga gemar bermain perempuan. Suatu hari, di Kerajaan Batu
Rizal Indragiri Pulau Sumatera ia mendapat seorang gadis cantik bernama Putri
Cermin. Dan atas restu kedua orangtuanya gadis itu dipersuntingnya menjadi permaisuri.
Namun setelah mendapat istri yang cantik sekalipun, Singaok tetap saja mencari
gadis-gadis cantik untuk diperistrinya. Ketika berlayar kehulu sungai
karimawatn, rombongan Singaok mendapati seorang perempuan yang dikiranya masih
gadis sedang menjemur padi di halaman rumah panjang. Singaok amat tertarik
dengan kecantikannya dan bermaksud untuk memperistrinya. Dicarilah akal dan
suatu hari dengan rombongan yang cukup besar, perempuan itu diculik untuk
dibawa keistana. Warga kampung, pada saat penculikan itu tentu saja tidak dapat
berbuat apa-apa karena takut. Beberapa warga berinisiatif untuk melapor kepada
suaminya yang sedang bekerja diladang. Suami perempuan itu adalah Bangka’,
seorang sakti yang sangat disegani oleh penduduk kampung Titi Antu dan
sekitarnya. Mendengar istrinya diculik oleh raja, tentu saja Bangka’ marah luar
biasa. Segera saja ia membunuhi rakyat kerajaan Singaok disepanjang aliran
sungai serta memerintahkan setiap penduduk laki-laki untuk membunuhi rakyat
dari Kerajaan Singaok dengan mengatasnamakan dirinya.
Pada perselisihan berdarah itu ratusan orang warga kerajaan Singaok terbunuh
sia-sia, dan puncaknya adalah terusirnya raja Singaok hingga kemuara sungai
karimawatn, pesisir pantai laut cina selatan. Akibatnya, kerajaan Singaok
hampir saja hilang. Rakyatnya terpencar biar tanpa pemimpin. Rakyat darat
kemudian berencana mengangkat Bangka’ untuk menjadi raja, namun Bangka’
menolak. Alasan satu-satunya alasan bagi Bangka’ adalah membalas sakit hatinya
atas kesewenang-wenangan raja kepada rakyatnya sendiri. Karena kehilangan
pemimpin yang sudah cukup lama, oleh permufakatan rakyat binua darat, diutus
tiga orang Singa untuk menemui raja yang mengungsi dimuara sungai agar raja
kembali memerintah. Namun tawaran itu dipenuhi raja dengan syarat yakni nyawa
seluruh anggota kerajaan harus ditanggung oleh rakyat. Syarat itu dipenuhi
utusan penduduk itu dan dikemudian hari mereka diangkat menjadi Timanggong ,
yang artinya menanggung jiwa raja. Dalam arti kamusnya, Timanggong adalah
penanggung jawab .
Itulah sebabnya, hingga kini gelar bagi pemimpin rakyat dibinua bergelar
timanggong. Dari cerita diatas, dapat diperhatikan bahwa paling tidak ada 3
gelar pemimpin rakyat yang terkenal masa lalu, yakni Singa, Patih dan
Timanggong . Gelar pemimpin ini sangat dikenal oleh masyarakat yang hidup
didaerah aliran sungai mempawah ( Karimawatn Sakayu’ ). Patut dicatat bahwa
gelar ini pada setiap daerah aliran sungai sangat bervariasi namanya. Di daerah
Menyuke misalnya pemimpin rakyat ini bergelar Ria . Penamaan ini terkait erat
dengan cerita asal-muasal suku ini. Tahun 1370 , Tarik Masehi, dikampung
Jarikng Kec. Menyuke sekarang, terkisahlah 2 orang pemimpin rakyat bernama
Kaleder bersama istrinya yang bernama Anteber. Tujuh tahun menikah, mereka
melahirkan seorang anak laki-laki yang mereka namai Ria Jambi. Setelah dewasa,
Ria Jambi menikah dengan seorang perempuan muda dari gunung Bawang ( Kab.
Bengkayang sekarang ) bernama Ngatapm Barangan . Mereka dikaruniai lima orang
anak yang bernama Ria Kanu, Ria Tano, Ria Rinding, Ria Tanding dan Ria Jane.
Suatu ketika Ngatapm Barangan pulang ke kampung halamannya dan menikah lagi
dengan seorang pemuda sakti bernama Bujakng Nyangko dari bukit Samabue ( Kec.
Menjalin sekarang ). Dari pernikahan Bujakng Nyangko dengan Ngatapm Barangan
lahirlah seorang putra yang bernama Ria Sinir. Suatu ketika, oleh ibunya Ria
Sinir disuruh mencari burung rangok ( enggang ) untuk dijadikan sebagai salah
satu syarat untuk bersunat.
Dalam perjalannya Ria Sinir tersesat dihutan hingga masuk kesebuah perkampungan
bernama Jarikng dan mendapati anak-anak seusianya sedang bermain gasing. Tanpa
malu dan takut, Ria Sinir ikut serta bermain gasing. Ia berani memangka gasing
yang sedang dimainkan anak-anak itu. Suatu ketika, gasing yang dipangka Ria
Sinir terpelanting dan memecahkan tempayan milik Ria Jambi. Karena takut
dimarahi, Ria Sinir menghilangkan diri. keesokan harinya ia datang lagi dan
kembali bermain gasing. Tanpa diketahui Ria Sinir, rupanya Ria Jambi
memperhatikan permainan itu dan meminta Ria Sinir untuk naik kerumahnya. “
darimana engkau datang ? tanya Ria Jambi. Anak itu menjawab “ saya datang dari
gunung bawang. Ibuku bernama Ngatapm Barangan dan ayahku Bujakng Nyangko “.
Kedua orang ini sangat dikenal oleh Ria Jambi dan segera memutuskan dalam
hatinya bahwa anak ini ternyata anakku juga yang telah lama tidak dilihat lagi.
Oleh Ria Jambi, Ria Sinir kemudian diangkat menjadi anaknya. Setelah dewasa,
Ria Sinir menikah dengan seorang putri dari kampung Selimpat bernama Dara Itapm
. Mereka dikaruniai anak kembar bernama Lutih dan Kari. Kedua anak inilah kelak
menjadi pemimpin didua wilayah pemerintahan, pemerintahan darat atau hulu yang
dipimpin oleh Lutih dan pemerintahan laut atau pesisir oleh Kari.
Berangkat dari cerita-cerita rakyat diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa
ribuan tahun silam, telah ada pemerintahan binua. Jauh sebelum pemerintahan
penjajah Belanda dan kerajaan-kerajaan melayu. Cerita penyusunan hukum adat dan
adat –istiadat zaman Ne’ Matas dan Taguh Pak Usutn dan pemerintah landscaap (
Kolonial Belanda ) berhasil mengumpulkan tetua-tetua adat serta Singa-Singa
Binua dan Timanggong Binua dikampung Sunga’ ( Karangan ) untuk menyusun hukum
adat menjadi bukti bahwa pemerintah kolonial tidak mencampuri urusan
pemerintahan lokal beserta hukum-hukumnya. Oleh karena itu,
Timanggong/Singa/Patih atau nama lain sebagai pemimpin rakyat sangat dihormati
oleh seluruh lapisan masyarakat maupun pemerintahan penjajah.
Timanggong memegang peranan yang sangat penting untuk mengurusi segala urusan
yang berkenaan dengan rakyat baik urusan keatas maupun kebawah. Timanggong
dipilih oleh rakyat dari beberapa kampung dalam lingkungan ketimanggongannya.
Jika seorang tamu, baik tamu orang biasa ataupun tamu bertugas dalam
pemerintahan dan tak melalui timanggong, kemungkinan besar tamu yang
bersangkuta tak ada perhatian dari masyarakat. Dan apabila kita mendatangai
satu daerah dan terus menghubungi timanggong, pasti segala urusan kita, apa
saja urusan itu akan dilayani dengan sepuasnya.
Selain urusan keperluan kita beres, terjamin pula kebutuhan makanan, tempat
nginap terlebih soal keamanan . Perlu diingat bahwa Timanggong mempunyai
jabatan rangkap, sebagai kepala adat, kepala dari beberapa kepala kampung/Tuha
Kampokng, kepala agama , kepala dukun, kepala hukum dan apa saja yang ada
sangkut paut dengan rakyatnya. Timanggong menjadi penanggung jawab dalam segala
urusan dalam seluruh kampung-kampung yang ada diwilayah ketimanggongannya.
Rakyat pada umumnya sangat patuh dan taat kepadanya dalam segala keputusannya .
Semua Tuha Kampokng dalam wilayah ketimanggongnnya selalu meminta petunjuk dan
cara apa saja dari timanggong. Timanggong adalah seorang cakap, gagah berani,
snaggup menghadapi segala tantangan apa saja, disegani rakyatnya, rajin,
berkelbihan harta benda dan benar-benar berwibawa. Kelayakan kepemimpinan yang
demikian biasanaya diturunkan kepada anak cucunya yang kelak meneruskan jabatan
dalam pemerintahan binua .
Ada pula dewan yang terdiri dari orang-orang tua kampung dan binua yang dianggap
ahli dalam adat dan hukum. dibeberapa binua, dewan ini disebut Bide Binua. Bide
merupakan penasehat yang mendampingi timanggong dalam soal-soal adat dan hukum.
dalam menjalankan pemerintahannya, timanggong dibantu oleh Pangalangok Binua ,
yakni seorang pemberani dan sakti yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat. Pangalangok juga diserahi tugas untuk menjaga tempat-tempat
pemujaan/ situs yang dipercaya sebagai tempat tinggal roh-roh nenek moyang .
Ditempat ini masyarakat meminta bantuan keamanan bila dalam keadaan bahaya
dengan perantara pangalangok binua, bide binua dan timanggong adalah pemimpin
masyarakat dibeberapa kampung. Melalui ketiga lembaga inilah keamanan seluruh
kampung, hak pengelolaan sumber daya hutan milik binua dijaga .
Ditingkat kampung, warga kampung mengangkat seorang Tuha Kampokng ( Kepala
Kampung ) sebagai pemimpinnya. Tuha kampokng berkewajiban untuk bekerjasama
yang harmonis dengan timanggong sebagai penanggung jawab seluruh
kampung-kampung. Dalam menjalankan pemerintahannya, kepala kampung dibantu oleh
beberapa orang ahli adat dan hukum, yakni Pasirah dan Pangaraga, yang bertugas
melaksanakan dan mengayomi hukum, tuha tahutn yang bertugas melaksanakan
adat-adat pertanian dan mengkoordinir kegiatan tuha-tuha aleatn ( ketua
kelompok tani ) dalam pekerjaan tani .
Pengertian Binua
Adalah Simon Takdir , seorang antropolog yang pertama kali membuat definisi
binua. Menurut Simon, dari latar belakang sejarah peradaban orang Dayak Salako
( Kanayatn, pen) yang hidupnya berkelompok-kelompok menyebar untuk mencari
wilayah kelola, binua inilah yang diwariskan mereka kepada generasi berikutnya
sehingga menjadi wilayah leluhur ( ancestral domain ) yang kepemilikannya
secara kolektive. Pada suatu saat, masing-masing kelompok ini pecah menjadi
kelompok-kelompok yang lebih kecil yang kemudian menjadi kampung-kampung. Dalam
perkembangannya, kampung-kampung ini berdasarkan kesamaan geografis-ekologis
dan genealogis mengikat diri dalam satu organisasi yang disebut Binua.
Selanjutnya Kristianus Atok dkk , pernah meneliti keberadaan binua ini selama
beberapa tahun. Menurutnya pembentukan suatu Binua diawali dengan pembukaan
hutan oleh leluhur yaitu orang pertama beserta keluarganya yang membuka hutan
untuk bercocok tanam yang selanjutnya dijadikan tempat tinggal sementara (
Parokng). Mereka berhasil untuk hidup dengan aman dan sejahtera menggunakan
lahan yang ada. Hal ini tidak terlepas dari luasnya tanah yang dikelola serta
penduduk yang hanya sedikit. Informasi tentang bagaiman hidup keluarga ini
kemudian menyebar keseluruh penjuru negeri, dan berbondong-bondonglah keluarga
mereka yang sebelumnya hidup ditempat lain kepemukiman mereka. Dan pasti,
bertambahlah penduduk diparokng ini. Lama-kelamaan, karena banyaknya anggota
komunitas, parokng ini menjadi kampung-kampung. Agar keseimbangan terjaga,
mereka mengatur tata hidupnya dengan aturan-aturan yang tumbuh bersama-sama
dengan pengalaman hidup sampai kemudian menjadi hukum dan untuk mengawal hukum
itu, mereka membentuk pemerintahan dengan segala kelengkapannya. Dalam
Penelitiannya, Kristianus Atok kemudian berhasil mengidentifikasikan berbagai
unsur sosial-budaya-politik yang tampak dari sistem pemerintahan binua pada
zaman itu adalah (1) sumber penghidupan warga adalah tanah yang dimanfaatkan
dengan sistem pertanian atau perkebunan ( 2 ) teknologi pertanian, perkebunan
umumnya masih rendah. Kekuatan keluarga untuk berproduksi terbatas pada
subsistence ( produksi untuk keperluan hidup keluarga sendiri, tidak untuk
pasaran ) ( 3 ) tata hidup dan tata hubungan sosial didalam masyarakat
berkembang untuk sosial subsistence ( keperluan sosial sendiri ) dengan
menggunakan kekuatan pengalaman hidup sendiri. Perkembangan ini menciptakan
adat yang didalam beberapa hal menguat menjadi hukum adat dan menjadi landasan
pemerintahannya dengan segala perlengkapannya ( 4 ) karena isolasi fisik dan
kultural yang dialami dalam waktu panjang, maka sistem sosial masyarakat lebih
kuat bersifat kolektif daripada bersifat individualistik. Jadi, dengan demikian
definisi binua adalah kumpulan orang-orang yang hidup tersebar dibeberapa
pemukiman yang mengakui sejarah asal-usul, adat-istiadat dan hukum adat,
pemimpin dan sistem pengelolaan sumber daya alam yang sama. Namun demikian,
oleh masyarakat adat yang hadir dalam Lokakarya Masyarakat Adat Antar Daerah
Aliran Sungai se-Kabupaten Landak pada tanggal 29-31 Juli 2004 , definisi ini
ditambahkan bahwa sejumlah binua memiliki kesamaan yang secara umum bisa
dibedakan dengan kumpulan binua-binua lainnya dengan menggunakan ciri-ciri
sejarah asal-usul dan bahasa yang digunakan.
Visi Pemerintahan Binua
Menyadari bahwa UU No 5 tahun 1979 yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan
kedudukan pemerintahan desa tidak lagi sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar
1945, khususnya pada pasal 18, yang menyatakan perlunya negara menghormati hak
asal-usul daerah yang bersifat istimewa, maka UU No 22 tahun 1999 memandang
perlu untuk menegaskan bahwa pengaturan mengenai pemerintahan desa berlandaskan
pada keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan masyarakat .
Mengacu pada pasal 18 UUD 1945 itu, maka visi pengaturan desa dapat ditafsirkan
muncul berkaitan dengan adanya pengakuan dari pendiri negara bahwa dalam
kenyataannya, jauh sebelum negara ini terbentuk sudah ada komunitas-komunitas
dengan sistem sosial yang asli. Komunitas-komunitas itu dapat disebut sebagai
desa, nagari, binua, kampung, gampong dan sebagainya . Implikasi dari pengakuan
itu adalah adanya penghormatan pada satuan-satuan sosial asli
komunitas-komunitas yang beragam bentuknya. Penghormatan yang bagaimanakah yang
dimaksudkan oleh pendiri negara tersebut ? dalam penjelasan Supomo pada rapat
BPUPKI tanggal 11 juli 1945 terungkap bahwa penghormatan pada
komunitas-komunitas asli tersebut diberikan pada keberadaan susunan aslinya
serta perbaikan pada susunan asli tersebut . Implisit dari pernyataan tersebut
adalah bahwa penghormatan bukan sekedar menjaga keaslian dari sistem sosial
komunitas-komunitas tersebut tetapi juga membuat perubahan agar sistem yang
asli tersebut menjadi lebih baik.
Baik tentunya adalah konsep nilai yang sangat subjektif sehingga membuka
peluang untuk ditafsirkan beragam. Misi penyeragaman desa yang dibawa oleh UU
No 5 tahun 1979 misalnya dari perspektif pemerintah bisa saja dianggap sebagai
upaya perbaikan pada komunitas desa. Namun, bagi komunitas desa yang
bersangkutan penyeragaman dengan segala implikasinya bisa jadi bukan perbaikan
tetapi perusakan tatanan sosial yang sudah mereka kenal turun-temurun . Jika
demikian halnya apakah kebaikan tidak layak lagi diperdebatkan karena sifatnya
yang sangat subjektif itu ? menurut saya, justru keberadaan UU No 22 tahun 1999
yang merupakan salah satu wahana pengaturan pemerintahan daerah termasuk desa
sebagai subsistemnya dan hubungan pemerintah dengan rakyat, membuka kesempatan
bagi kita untuk merenungi kembali apa yang esensial dalam menafsirkan
pengaturan perundang-undangan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan “
desa “ yang baik.
Disini kembali konsep “ baik ‘ menjadi krusial untuk dibahas. Kita harusnya
menyadari bahwa meskipun konsep baik, dapat saja terperangkap pada
kepentinga-kepentingan subjektif, dan tentunya patut disadari bahwa masih ada
sisi-sisi universal yang dimunculkannya, yakni pemenuhan sesuatu yang menjadi
hak asasi manusia. Dengan demikian, segala upaya perbaikan ditanggapi sebagai
upaya pemenuhan hak asasi, bukan sekedar proyek untuk memenuhi obsesi dari
pihak yang berkuasa. Pemenuhan hak asasi manusia adalah visi penting yang ingin
dicapai dengan sistem pemerintahan binua sesuai UU No 22 tahun 1999 dalam wadah
negara kesatuan republik indonesia. Visi inipula yang memberikan konteks
penafsiran dari landasan pengaturan “ desa “ yang disebutkan dalam UU No 22
tahun 199 sebagai kenakeragaman, partisipasi, otonomi asli dan pemberdayaan.
Atas dasar pemenuhan hak asai manusia itu, pada semiloka perencanaan strategis
multipihak Kabupaten Landak yang diadakan tanggal 23-26 juni 2004 lalu,
pengembalian sistem pemerintahan binua dimaksudkan untuk mencapai visi “
Terwujudnya kehidupan masyarakat Kabupaten Landak yang berdaulat, aman, adil,
makmur dan demokratis “ Kedaulatan adalah kenyataan sekaligus peneguhan hak
dari komunitas masyarakat adat dari zaman kezaman. Dengan jati diri yang kuat,
memberikan legitimasi pada perkembangan sistem sosial yang beranekaragam,
sehingga segala upaya penyeragaman adalah pelanggaran hak atas kedaulatan.
Aman adalah sesuatu yang dicita-citakan oleh umat manusia. Semua orang ingin
hidup aman, damai dan bebas dari rasa takut. Aman dan damai dalam hidup berdampingan
antar etnis, agama. Tidak ada konflik kekerasan antar etnik dan agama. Bebas
dari rasa takut karena serangan perampok, pencurian dan perampasan. Dengan
demikian juga aman untuk berusaha meningkatkan kesejahteraan hidup. Adil adalah
sikap yang selalu dipertahankan. Menciptakan rasa adil dengan memperlakukan
seluruh anak bangsa tanpa diskriminasi. tidak ada tirani mayoritas atas
minoritas. Semua itu tercermin dalam pandangan adil ka talino, yang artinya
berlaku adil terhadap sesama manusia. Adat adalah alat perekat menciptakan
keadilan. Dengan adat, keseimbangan hidup antara manusia dengan alam, antara
manusia dengan pencipta dan antar sesama manusia . Makmur dalam arti kata
terpenuhinya kebutuhan dasar sebagai manusia. Semua itu tercermin dengan kecukupan
pangan, perumahan yang layak huni, kesehatan terjamin, usaha ekonomi maju
sehingga pendapatan meningkat. Dan Demokratis terwujud dalam pola kepemimpinan
yang bercorak egaliter. Semua orang mempunyai hak berpendapat dan berserikat.
Dengan kondisi ini, diwajibkan bahwa pengambilan keputusan yang menyangkut
hajat hidup orang banyak harus dengan musyawarah. Salah satu wujud lain dari
demokrasi binua adalah adanya lembaga perwakilan rakyat binua ( Bide Pamane
Binua ) yang refresentatif dan berfungsi mengemban amanat rakyat binua untuk
mengatur tertib kehidupannya.
Kedaulatan, aman, adil, makmur dan demokratis adalah hal-hal yang telah
terengut selama pemberlakuan UU No 5 tahun 1979 . Karena itu diperlukan
pemulihan hak pada kelima hal tersebut. Pemberdayaan adalah salah satu upaya
untuk pemulihan hak sekaligus pengembangan kehidupan politik, sosial budaya,
dan ekonomi komunitas binua. Pemberdayaan yang diartikan sebagai proses
pemulihan dan pengembangan hak tersebut dilakukan sendiri oleh komunitas binua.
Pemberdayaan merupakan perubahan dalam kehidupan komunitas binua, hanya
merekalah yang paling berkompeten mengetahui perubahan apa yang diperlukan dan
menetapkan cara untuk perubahan itu. Namun kenyataan menunjukan bahwa
perengutan hak asasi komunitas binua selama ini menyebabkan kapasitas untuk
memberdayakan dirinya sendiri sedikit demi sedikit terkikis. Semua itu tidak
lepas dari tanggung jawab pemerintah orde baru dengan memaksakan penyeragaman
desa diseluruh nusantara .
KETIKA IDENTITAS KOMUNITAS DIHANCURKAN
Sebelum mengenal lebih jauh tentang pemerintahan lokal yang bernama
pemerintahan binua di Kalimantan Barat, mari kita lihat pola-pola penghancuran
atas identitas asli komunias secara makro, maksudnya di Nusantara. Regerings
Reglement atau peraturan pokok yang mengatur tentang pemerintahan di Hindia
Belanda pada tahun 1854 adalah peraturan mengenai desa yang pertama kali dibuat
. Dimuatnya pengaturan tentang desa ini didasari oleh kesadaran dari penguasa
kolonial atas telah adanya satuan-satuan sosial asli pada masyarakat yang
memiliki corak pemerintahannya sendiri jauh sebelum kedatangan orang-orang
Belanda. Oleh karena itu hakekat pengaturan yang dimiliki itu bukanlah untuk
membentuk satuan sosial dengan pemerintahan baru yang disebut Inlandssche Gemeente
tetapi merupakan pengakuan tentang keberadaan satuan-satuan sosial tersebut.
Dalam pasal 71 Regerings Reglement selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam
ordonansi yang khusus dibuat untuk mengatur desa yakni Inlandsche Gemeente
Ordonantie ( IGO ). IGO berlaku hanya di pulau Jawa-Madura, kecuali diwilayah
Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta serta tanah-tanah partikelir disebelah
barat dan timur Cimanuk Jawa Barat. Sedangkan untuk daerah diluar pulau Jawa
dan Madura dikeluarkan ordonansi yang lain yang disebut dengan Inlansche
Gemeente Ordonantie Buitengewesten ( IGOB ). Berbeda dengan dengan IGO yang
berlaku secara umum, maka IGOB hanya berlaku jika ada pernyataan
pemberlakuannya oleh gubernur. Menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintahan
Hindia Belanda di Indonesia, pemerintah Hindi Belanda masih sempat membuat
ordonansi desa yaitu desa ordonantie, namun ordonansi ini tidak sempat berlaku
menyusul kekalahan Belanda melawan Jepang sehingga Belanda harus meninggalkan
Indonesia pada tahun 1942. Selama kekuasaan Jepang, tidak banyak perubahan yang
dilakukan berkenaan dengan peraturan mengenai desa kecuali mengenai pemilihan
kepala desa. Kepala desa dibatasi masa jabatannya menjadi 4 tahun saja sesuai
Osamu Seirei No 7 tahun 1944. Di Kalimantan Barat, pada masa ini istilah Singa
( Kepala Binua ) sempat diubah dengan nama SonCo .
Pada saat bangsa Indonesia mempersiapkan kemerdekaan, perhatian terhadap desa
telah pula masuk dalam pembahasan mengenai konstitusi negara pada rapat-rapat
BPUPKI dan PPKI. Pada sidang BPUPKI tanggal 11 juli 1945, Muhamad Yamin adalah
tokoh bangsa yang pertama kali menyinggung keberadaan lembaga yang bernama desa
khususnya dipulau Jawa-Madura. Beliau mengutarakan pendapatnya mengenai susunan
pemerintahan yang akan dibentuk. Menurutnya terdapat 3 lapisan yang merupakan
susunan pemerintahan yaitu pemerintah bawahan yang berisikan badan-badan
masyarakat seperti desa di Jawa-Madura, Nagari di Sumatera Barat, dan
lain-lain. Lapisan selanjutnya adalah Pemerintah atasan atau pemerintah pusat
yang ada diibukota negara dan yang diantara kedua pemerintahan itu adalah
pemerintah tengahan yakni pemerintahan daerah .
Hal menarik juga diungkapkan oleh Supomo. Sebagai ketua panitia kecil perancang
Undang-Undang Dasar, beliau dalam sidang panitia BPUPKI tanggal 11 juli 1945
menjelaskan bahwa “ hak-hak asal-usul dalam daerah-daera yang bersifat istimewa
harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu adalah pertama
daerah kerajaan baik diJawa maupun diluar jawa dan kedua, daerah-daerah kecil
yang mempunyai susunan asli seperti desa di Jawa, Nagari diSumatera Barat dan
lain sebagainya. Karena itu daerah-daerah itu harus dihormati dengan
menghormati dan memperbaiki susunan aslinya “. Pendapat Supomo ini kemudian
masuk dalam pasal 18 UUD 1945 butir II yaitu “ Dalam teritorial negara
Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturede landschappen seperti desa di
Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabaun, Dusun dan Marga di Palembang dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa “. Sampai 20 tahun setelah
Indonesia merdeka, tidak penah ada lagi peraturan khusus yang mengatur tentang
desa secara menyeluruh sehingga dengan demikian Inlandsche Gementee Ordonantie
( IGO ) tetap berlaku. Dalam kurun waktu tersebut, peraturan yang dibuat
sifatnya parsial ( Myrna A Safitri, 2000 ).
Pada tahun 1965 barulah pemerintah Indonesia berhasil membuat undang-undang
mengenai desa untuk menggantikan IGO dan peraturan-peraturan lainnya. Pada
tanggal 1 September 1965 diundangkan UU No 19 tahun 1965 tentang Desapraja . UU
Desapraja ini dibuat dengan semangat untuk menggantikan seluruh produk
perundang-undangan kolonial dan menjalankan politik unifikasi hukum mengenai
desa diseluruh wilayah Indonesia dengan melakukan rekayasa pembentukan,
penggabungan dan pemecahan satuan-satuan sosial yang ada. Namun UU Desapraja
dalam prakteknya tidak pernah berlaku karena pada tahun 1969 dikeluarkan lagi
UU No 6 tahun 1969 yang menyatakan tidakberlakunya sejumlah UU dan Perpu
termasuk UU Desapraja karena isinya dianggap bertentangan dengan jiwa dan
semangat UUD 1945.
Masa Orde Baru terbilang sangat produktif menghasilkan peraturan pemerintah dan
Undang-undang mengenai desa . Pada tanggal 1 desember 1979 dibuat UU No 5 tahun
1979 tentang pemerintahan desa. Sepanjang masa berlakunya UU ini berikut
peraturan pelaksanaannya, telah sukses menjalankan misi penyeragaman desa
diseluruh tanah air Indonesia. Desa dipilih oleh Pemerintah Otoriter Orde Baru
selain karena politik unifikasi hukum juga karena kepentingan “ pembangunan ”.
Dengan politik sentralisasi kekuasaannya, pemerintah Orde Baru berhasil
melaksanakan pembangunan nasional dan mengharuskan pemerintah pusat untuk
selalu mengucurkan dana kepada pemerintah daerah untuk menjalankan
program-program pembangunan yang banyak diantaranya telah dirancang oleh
pemerintah pusat sendiri. Dalam prakteknya , teknik pengucuran dana kepada
daerah ( dalam hal ini provinsi ) dilakukan berdasarkan jumlah desa yang ada. Karena
terbatasnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah diawal orde baru mengenai
jumlah desa yang ada diseluruh Indonesia, maka diharuskan kepada setiap
gubernur untuk memberikan data yang lebih rinci tentang jumlah “ desa “ yang
ada diwilayahnya.
Gubernurpun kemudian menginstruksikan kepada Bupati-Bupati DATI II untuk
melakukan pendataan jumlah desa diwilayahnya masing-masing. Namun permintaan
Gubernur itu ternyata tidak mudah dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten karena
berbedanya atau bahkan ternyata tidak dikenalnya istilah desa didaerah-daerah
luar pulau Jawa dan Madura. Untuk mengatasi kebingungan para gubernur diluar
Jawa-Madura itu, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran No Desa
5/29 tanggal 29 April 1969 yang isinya memberikan batasan tentang desa yang
dimaksudkan yakni “ kesatuan masyarakat hukum baik genealogis maupun teritorial
yang pemerintahannya berada langsung dibawah kecamatan “.
Namun surat edaran inipun justru semakin membingungkan pemerintah daerah (
Gubernur dan Bupati ) terutama dengan dicantumkannya batasan bahwa yang
dimaksud desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang pemerintahannya langsung
dibawah kecamatan. Kenyataan diluar pulau Jawa dan Madura adalah seringnya
satuan-satuan sosial lokal itu lebih luas dari kecamatan bahkan kabupaten.
Untuk menindaklanjuti surat edaran yang semakin membingungkan itu, tidak lama
kemudian Menteri Dalam Negeri mengeluarkan lagi surat edaran No Pem 40/5/10
tanggal 5 september 1974 yang memerintahkan agar segera melakukan pendataan
jumlah desa. Didorong oleh keinginan untuk mendapatkan dana pembangunan dari
pusat yang begitu besar itu yang walaupun semakin bingung, kenyataannya banyak
gubernur diluar pulau Jawa dan Madura yang membuat penafsiran sendiri-sendiri
mengenai desa yang dimaksudkan pemerintah pusat itu. Untuk mewujudkan
“ambisinya “itu, Gubernur Kalimantan Barat, Kadarusno, memerintahkan para
Bupati se-Kalimantan Barat untuk segera pula melakukan pendataan jumlah desa
yang ada diwilayah kabupaten dengan mengeluarkan surat No DD Pem 539/B-2
tanggal 27 Desember 1974. Di Kabupaten Pontianak ( pada sekitar 20-an tahun
kemudian melakukan pemekaran wilayah dengan dilahirkannya Kabupaten Landak ),
Bupati kemudian melakukan pendataan desa. Hasil pendataan desa ini kemudian
dikirimkan melalui surat kepada Gubernur Kalbar pada tanggal 21 Desember 1974
dengan No Pem 10838/B-1/1974 tentang pengumpulan data-data pemerintahan desa
diwilayahnya. Saat menyampaikan daftar desa diwilayahnya maka yang dicantumkan
Bupati kepada gubernur bukanlah jumlah satuan-satuan sosial lokal atau
masyarakat hukum yang ada ( Binua ) tetapi satuan-satuan pemukiman ( kampung )
yang sebenarnya bisa saja merupakan bagian dari satu masyarakat hukum yang
dikenal dengan nama Binua.
Dengan penafsiran bahwa desa diluar Pulau Jawa dan Madura adalah satuan-satuan
pemukiman, maka dimulailah babak baru dalam pemerintahan desa secara nasional
dan sekaligus ancaman pada integrasi satuan-satuan sosial yang ada disleuruh
wilayah tanah air. Demikian pula dengan dianggapnya desa sama dengan satuan
pemukiman maka mulailah pula rekayasa untuk lebih menonjolkan prinsip
teritorial dalam ikatan satuan-satuan sosial ( Jatiman, 1995 ). Dari
peristiwa-peristiwa diatas tidak dapat dipungkiri membawa kebijakan unifikasi
hokum pemerintah pusat menjadi pengaruh yang sangat besar dalam perumusan
konsep desa dengan melegitimasinya dalam UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintah
Desa. UU ini secara tegas menunjukan keberpihakkannya pada prinsip teritorial,
demografis, adminsitrasi dan birokrasi.
Dengan lahirnya UU No 5 Tahun 1979 ini, hilang pula kedaulatan masyarakat adat
dalam mengelola kehidupannya berdasarkan warisan leluhurnya diseluruh wilayah
Kalimantan Barat. UU ini secara tegas mengobok-obok desa dan tidak
memperhatikan legitimasi sejarah desa yang bersangkutan sehingga pemerintah
dengan gampangnya melakukan tindakan-tindakan pembentukan, pemecahan, penyatuan
dan penghapusan desa. Hal ini merupakan konsekwensi dari dianggapnya penduduk
desa sebagai kumpulan orang-orang semata. Pada UU ini misalnya menyebutkan
bahwa desa dapat dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat ( 1 ) luas wilayah
( 2 ) jumlah penduduk ( 3 ) dan syarat-syarat lain yang ditentukan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri. Dalam kasus ini misalnya muncul Permendagri No
4 tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan desa.
Setidaknya ada 6 syarat pembentukan desa yang disebutkan dalam peraturan
tersebut dan lima diantaranya berkenaan dengan syarat sosial budaya. Syarat
fisik yang dimaksud adalah jumlah penduduk minimal 2500 jiwa atau 500 KK,
luasnya harus terjangkau ( bagi aparat pemerintah ) untuk memberikan pelayanan
dan pembinaan masyarakat, letaknya dapat diakses dengan mudah seperti
tersedianya sarana perhubungan dan komunikasi, tersedia prasarana dan sarana perhubungan,
sosial, produksi dan pemerintahan desa, tersedia tempat mata pencaharian sesuai
dengan pola tata desa. Sedangkan syarat sosial budaya lebih banyak ditujukan
pada adanya suasanan kerukunan antar umat beragama dan bermasyarakat. Dari
syarat-syarat tersebut, bahkan syarat sosial budayapun sama sekali tidak
dimasukan pertimbangan kondisi sejarah dari desa yang bersangkutan. Syarat
sosial budaya kelihatannya dimaksudkan untuk mengantisipasi adanya ekses dari
kontak budaya yang sangat mungkin terjadi dengan rekayasa pembentukan,
pemecahan dan penyatuan desa.
Kurang lebih 32 tahun pemerintah Orde Baru berjalan, ternyata rekayasa atas
pemerintahan desa semakin lama semakin disadari oleh komunitas lokal diseluruh
wilayah tanah air. Masyarakat lokal mulai mengorganisir dirinya untuk bebas
dari penjajahan ditanah sendiri. Pengorganisasian masyarakat lokal ini
dibarengi dengan pengorganisasian dkalangan elit intelektual dan puncaknya
adalah dengan turunnya Soeharto dari singasana pada tanggal 21 Mei 1998 atas
desakan mahasiswa dan rakyat. Pimpinan nasional beralih secara konstitusional
kepada wakilnya, BJ Habibie. Seorang ahli pesawat terbang. Pemerintahan
transisi ini kemudian sangat menyadari bahwa bilamana pola kekuasaan masih
sentralistik, niscaya “ banyak “ daerah-daerah kaya akan mengkuti jalan merah “
Timor-Timur “, keluar dari Indonesia. Didorong oleh keinginan menjaga keutuhan
Negara, pemerintahan BJ Habibie merumuskan ulang konsep pengaturan pemerintahan
dengan asas desentralisasi dan lahirlah UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan UU no 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Lahirnya UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah memberikan harapan baru
bagi kelangsungan hidup Negara-bangsa Indonesia. Pengaturan mengenai desa
kemudian “ dilebur “ menjadi bagi dari pemerintah daerah, berbeda dengan UU No
5 tahun 1979 yang secara khusus mengatur pemerintah desa. Namun kritik atas
pemberlakukan UU ini khususnya oleh masyarakat di Kabupaten Landak adalah bahwa
Rakyat Desa masih saja kehilangan kedaulatannya. UU No 22 tahun 1999 secara
jelas menjadikan kembali Kepala Desa sebagai lembaga penting dalam pemerintahan
desa. Walaupun UU No 22 tahun 1999 menyebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri
dari kepala desa dan badan perwakilan desa, namun dalam pengaturan selanjutnya
kepala desa lebih banyak mendapatkan wewenang. Sebagai gambaran, jika
pemerintahan desa terdiri dari 2 kekuatan itu, maka idealnya ada pengaturan
yang berimbang untuk kedua lembaga ini. Dalam kenyataannya, UU telah memberikan
porsi pengaturan lebih banyak pada lembaga kepala desa. Dari 19 pasal mengenai
desa, 10 diantaranya khusus berkenaan dengan kepala desa dan hanya 1 yang
berkaitan khusus dengan badan perwakilan desa. Contoh lainnya adalah
persyaratan untuk menjadi kepala desa menyiratkan berlakunya konsekwensi bahwa
penduduk desa lebih dilihat sebagai penduduk dalam arti administratif sehingga
dalam syarat untuk menjadi kepala desa adalah setiap orang yang terdaftar
sebagai penduduk ( de jure ) sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut atau
putra desa yang ada diluar desa yang tidak terkena syarat domisili minimal 2
tahun berturut-turut. Tetapi pengertian putra desa juga rancu karena disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan putra desa adalah selain mereka yang lahir didesa
yang bersangkutan dari orang tua yang terdaftar sebagai penduduk desa juga
mereka yang lahir diluar desa kemudian pernah menjadi penduduk desa sehingga
betul-betul mengenal desa.
Kepala desa dipilih langsung oleh rakyat desa. Ini menunjukan bahwa mekanisme
demokrasi telah diterapkan bahkan dalam bentuk demokrasi langsung bukan
perwakilan. Namun, kepala desa yang sudah dipilih warganya dengan suara
terbanyak diangkat oleh Bupati/walikota atas nama gubernur. Ini merupakan
konsekwensi bahwa pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi pemerintahan
nasional yang selalu tergantung pada pemerintah diatasnya sehingga kepala desa
tidak mandiri . Karena diangkat oleh bupati atas nama gubernur, maka kepala
desa juga dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkatnya itu. Disinilah
letak hilangnya kedaulatan rakyat desa.
Dengan kedudukan yang sangat strategis karena menjalankan hak, wewenang dan
kewajiban pimpinan pemerintahan desa dan merupakan penyelenggara dan penanggung
jawab utama dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka
penyelenggaraan urusan pemerintahan umum termasuk pembinaan ketentraman dan
ketertiban sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta
mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat hingga mengayomi pelestarian adat
istiadat dan hukum adatpun menjadi tugas kepala desa. Dengan peran sebesar ini,
maka kepala desa menjadi penguasa tunggal dengan kekuasaan tidak terbagi. Namun
ironis, bahwa kepala desa hanya bertanggung jawab pada pejabat yang mengangkatnya
( Bupati ) melalui camat dan tidak kepada rakyat desa yang memilihnya. Bahkan
kepada Badan Perwakilan Desa, kepala desa hanya memberi keterangan
pertanggungjawabannya itu jika dianggap perlu dengan permintaan secara tertulis
disertai alasan dan pertimbangannya. Krisis kepemimpinan tradisional sangat
terasa yang mencapai puncak pada ketersisihan pengurus adat terhadap akses
ekonomi, politik dan sumber daya alam. UU No 5 tahun 1979 kenyataannya telah
mengingkari keberadaan pimpinan lembaga adat dengan hanya berfungsi sebatas
pelaksanaan upacara-upacara.
Di Kabupaten Landak, hingga saat ini selain menjalankan fungsi eksekutif, dalam
prakteknya kepala desa juga menjalankan fungsi legislatif yakni menjadi ketua
LMD ex offisio dan menetapkan keputusan desa tanpa meminta terlebih dahulu
persetujuan Badan Perwakilan Desa. Praktek ini dijustifikasi oleh Kepala Desa
karena “ keterlambatan “ pengaturan mengenai desa di Kabupaten Landak , dan
untuk menjalankan pemerintahan desa tentu saja Kepala Desa masih juga
menjalankan praktek-praktek yang bertentangan dengan kebiasaan atau
adat-istiadat yang berlaku pada komunitas lokal. Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pengayom adapt-istiadat sebagaimana yang digariskan UU, Kepala Desa
juga menjalankan fungsi sosial budayanya. Alasan yang dikemukakan umumnya
adalah untuk mengembangkan masyarakatnya kearah yang lebih baik. Banyak Kepala
Desa yang beranggapan bahwa adapt-istiadat itu suatu hal yang kuno, ketinggalan
zaman dan sebagainya sehingga dengan dalih pengembangan masyarakat desa Kepala
Desa kemudian mencampuri juga urusan-urusan adat istiadat dan hukum adat yang
sesungguhnya dijalankan hanya oleh timanggong/kepala binua beserta perangkatnya
dikampung-kampung.
Menurut analisis beberapa pengamat social , paling tidak ada 2 alasan penting
mengapa sentralisasi kekuasaan itu ada pada kepala desa. Pertama, dalam kaitan
memasukan kepala desa sebagai bagian dari birokrasi nasional dan karenanya
dapat digunakan untuk menjalankan program-program birokrasi secara umum maka kepala
desa adalah lembaga yang paling tepat dan mudah untuk dimanfaatkan karena dalam
proses pemilihan dan penilaian kinerjanya pemerintah atasan ( camat dan bupati
) berperan besar. Kedua, sentralisasi ini dapat mematikan perkembangan otonomi
desa yang sejati karena pemerintah pada dasarnya tidak menghendaki hal
tersebut. Meskipun disebutkan bahwa desa mempunyai hak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri, tetapi hak yang dimaksud bukanlah otonomi asli. Implikasinya
adalah tidak ada keharusan menghadirkan lembaga perwakilan yang juga sejati
dari hakekat daerah otonom yang menghendaki adanya lembaga perwakilan semacam
itu untuk memilih dan melakukan kontrol pada pemimpinnya. Oleh karena itu,
dibentuklah lembaga musyawarah desa yang anggota-anggotanya sebagian adalah
aparat desa seperti kepala desa, sekretaris desa, kepala-kepala dusun, serta
pemuka masyarakat dari kalangan adat, agama, kekuatan sosial politik dan
profesi. Yang menarik dari struktur keanggotaan lembaga ini adalah menonjolnya
keinginan pemerintah Orde Baru untuk menyeleksi keanggotaan tersebut sehingga
tidak memungkinkan kader-kader partai politik tertentu untuk menjadi anggota
LMD atau kini disebut BPD. Dari pengalaman itu sebetulnya terjadi proses
manipulasi dan kooptasi oleh kekuatan politik yang lebih kuat terhadap
eksistensi kepala binua sebagai kepala wilayah adat dengan menempatkan kepala
desa sebagai penguasa tunggal.
Kecendrungan ini jelas sekali telah membatasi otonomi lembaga-lembaga adat
sebagai salah satu pilar utama kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya
sehari-hari antara berbagai kelompok masyarakat adat selama ini. Ketiga hal
diatas pada akhirnya telah menghilangkan pusat-pusat orientasi yang menjadi
pedoman masyarakat mencari kehidupan sebagaimana yang diinginkannya sendiri.
Dan yang pasti bahwa sistem desa telah mengabaikan realitas keberagaman
pola-pola dan mekanisme lokal yang sebenarnya menjadi bagian dan lebih sesuai
bagi penyusunan struktur kelembagaan pemerintah Kabupaten Landak sehingga
potensi otonomi dan keswadayaan masyarakat yang sudah ada tidak terbunuh sama
sekali.
Memanggil Semangat Otonomi Asli
Sistim pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menurut
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah,
dipandang perlu untuk menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah. Dalam
menghadapi perkembangan keadaan, baik didalam maupun diluar negeri, serta
tantangan persaingan global, akan sangat baik bila dalam menyelenggarakan
Otonomi Daerah pemerintah pusat memberikan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan
peraturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, secara perimbangan
keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman Daerah
yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lahirnya UU No.22/1999 karena sangat menyadari bahwa Undang-Undang No.5 tahun
1979 tentang pemerintahan Desa telah menimbulkan banyak masalah yang pada
pokoknya menguatkan ketegangan antara negara dengan komunitas. Konsep desa (dan
kelurahan) yang tercantum dalam UU Pemerintahan Desa No.5/1979 memaksa
pemerintahan daerah di luar Jawa mengubah struktur pemerintahan desa yang telah
ada dan guna menyesuaika dengan amanat UUPD 1979. Karena yang tercantum dalam
undang-undang ini adalah ‘Desa’, maka pemerintah daerah menghilangkan kesatuan
masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) yang diangap tidak mengunakan kata ‘Desa’
seperti nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh,
Huta, Sosor dan Lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Jorong di Sumatra Barat,
Negeri di Sulawesi Utara dan Maluku, Binua di Kalimantan Barat, Kampung di
Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, Temukung di Nusatengara Barat dan Nusa
Tengara Timur, Yo di Sentani Irian Jaya, dan lain sebagainya. Seterusnya,
Kesatuan masyarakat hukum tidak hanya cara formal berganti nama menjadi desa,
akan tetapi harus pula secara operasional segera memenuhi segala syarat yang di
tentukan oleh UU No. 5/1979. Seperti yang telah disebut, upaya ini oleh
Pemerintah Daerah di luar Jawa dan Madura dilakukan melalui Program regrouping
desa untuk menuju apa yang kemudian disebut sebagai ‘Desa orde baru’.
Adanya keanekaragaman daerah yang bersifat istimewa tersurat dan tersirat dari
pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa pembagian Daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Dalam penjelasan pasal
tersebut, antara lain dikemukakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu suatu
eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai Daerah dalam lingkungannya
yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi.
Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Didaerah-daerah yang
bersifat otonom (Streek en locate rechtgemeen-schappen) atau bersifat
administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan
Undang-Undang.” Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan
perwakilan Daerah. Oleh karena itu, didaerah maupun pemerintahan akan bersendi
atas dasar permusyawaratan.
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No 22 tahun 1999 merupakan
landasan yang kuat untuk menyelenggarakan kembali system pemerintahan Binua di
Kabupaten Landak dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada Daerah, sebagai mana tertuang dalam Ketetapan MPR-RI Nomor
XV/MPRR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan Dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998
tersebut diatas, penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada Daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan dan perimbangan keuangan Pusat dan
Daerah. Disamping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan
prinsip-prinsip demokrasi peran serta masyarakat, pemerataan dengan
prinsip-prinsip keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Dalam TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 tersebut, khususnya dalam bagian Menimbang,
antara lain menyatakan: “Bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah; pengaturan sumber
daya nasional yang berkadilan; serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah’
dan ‘Bahwa penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional; perimbangan keuangan pusat dan daerah belum dilaksanakan
secara proporsional sesuai dengan prinsip-perinsip demokrasi, keadilan dan
pemerataan”.
Atas dasar itu, TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 memutuskan untuk menetapkan bahwa (
Pasal 1 ): Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; ( Pasal 2) Penyelenggaraan otonomi
daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokratisasi dan memperhatikan
keanekaragaman daerah; ( Pasal 3 ayat 1 ) Pengaturan, Pembagian, dan
pemanfaatan sumberdaya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara
adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara efktif dan efesien,
bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan
kesempatan yang luas kepada pengusaha kecil, menengah, dan Koperasi; ( Pasal 4
) Perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi
daerah, luas daerah, keadaan geografis, jumlah penduduk, dan tingkat pendapatan
masyarakat daerah; ( Pasal 5 ) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber
daya nasional dan bertangung jawab memelihara kelestarian, lingkungan; ( Pasal
6 ) Penyelenggaraan otonomi daerah; Pengaturan, pembagian, pemanfaatan
sumberdaya nasional yang berkadilan; dan perimbangan keuangan pusat dan daerah
dalam kerangka mempertahankan dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan berkesinambungan yang
diperkuat dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan masyarakat.
Seluruh ketentuan ini, sebagaimana yang dikemukakan Pasal 7, diatur lebih
lanjut dengan Undang-Undang. Ketetapan MPR RI No XV/MPR/1998 ini sendiri
tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan TAP MPR RI No.X/MPR/1998
Tentang pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, yang pada hakekatnya:
“Merupakan pernyataan kehendak rakyat untuk mewujutkan pembaruan di segala
bidang pembangunan nasional, terutama bidang-bidang ekonomi, politik, hukum,
serta agama dan social budaya”.
Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau
yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan
pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka Otonomi Daerah
sekarang ini didasarkan kapada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang adalah
merupakan hak daripada kewajiban. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan
Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenagan
dibidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu
keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam
penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Yang dimaksud dengan nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada diperlukan
serta serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjwaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan
kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin
baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta
memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah
dalam rangka menjaga kautuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Atas
dasar pertimbangan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, yang menyeragamkan
nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa, adalah tidak sesuai
dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945, dan perlunya mengakui serta menghormati hak
asal usul yang bersifat istimewa, sehingga perlu diganti atau dicabut.
Penggantian Undang-Undang ini dilakukan dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, didalamnya ada yang mengatur
perihal Desa (Bab XI). Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah
mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas,
meningkatkan peran serta masyarakat serta meningkatkan peran dan fungsi DPRD.
Selain itu Daerah Otonomi juga mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat didaerahnya
masing-masing.
Sekarang, mari kita lihat dalam UU No 22 tahun 1999 pada bagian penjelasan umum
angka 9 (1), tentang Pemerintahan Desa : “Desa berdasarkan Undang-Undang ini
adalah Desa atau yang disebut nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum
adat yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat
istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang Dasar
1945”. Dengan landasan pemikiran ini peraturan mengenai Pemerintahan Desa harus
mengormati prinsip-prinsip keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi
dan pemberdayaan masyarakat. Jelaslah, menurut rumusan diatas, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tersebut menghendaki bahwa Pemerintahan Desa ( berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979), dapat saja diganti dengan Pemerintahan
asal-usul berdasarkan adat istiadat dan hak asal usul, baik secara implisit
maupun secara eksplisit (tersirat maupun tersurat). Dan di Kabupaten Landak
system pemerintahan asal-usul itu adalah pemerintahan binua.
Perlu diingat bahwa Pemerintahan Binua yang sesuai dengan jiwa dan semangat
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini bukanlah jiwa dan semangat kolonial
berdasarkan IGOB, akan tetapi lebih sesuai dengan kondisi sosial yang
berkembang dan maju di alam kemerdekaan ( meluasnya prinsip demokrasi ).
Apabila kita membandingkan Pemerintahan Binua yang sesuai dengan Desa (
berdasarkan IGOB ) dan Pemerintahan Desa ( berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1979 ), Pemerintahan Binua lebih besar kesempatan dan ruang geraknya
untuk mencapai kemajuan daripada Pemerintahan Desa.
Pada hakekatnya kembali ke system Binua adalah ingin direhabilitirnya kedudukan
dan peranan kelembagaan local yang hidup turun-temurun. Idenya ingin agar Binua
diakui dalam sistem Pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang
dihormati mempunyai hak asal-usul dan istiadat setempat ( Krist, 2003 ). Nampak
bahwa ada niat para pembuat UU No 22.1999 ingin memulihkan demokrasi ditingkat
yang paling rendah, dimana unsur-unsur pokok demokrasi ada di desa, seperti
Badan Perwakilan Desa, yang berfungsi sebagai parlemen/wakil rakyat ditingkat
desa atau nama lain. Namun, selanjutnya ternyata UU No 22.1999 menyerahkan penyelesaian
ketegangan antara Negara dan komunitas lokal itu pada pemerintah daerah dengan
menyebutkan bahwa pengatur lebih lanjut mengenai desa akan diatur melalui
Peraturan Daerah masing-masing. Diatur pula bahwa masing-masing peraturan
daerah berwajib mengakui dan menghormati hak asal-usul desa tesebut. Dalam
pasal 93 UU No.22 1999 hanya disebutkan bahwa : Desa dapat dibentuk, dihapus
dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat
dengan persetujuan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan DPRD dan Pembentukan,
pengapusan dan/atau penggabungan Desa sebagaimana dimaksud ayat (i), ditetapkan
dalam peraturan daerah.
Jadi, prospek pembebasan ‘Desa’ dari birokrasi, atau prospek perwujudan
“otonomi daerah, masih bergantung dinamika pembentukan kebijakan di
pemerintahan daerah Kabupaten Landak sendiri. Lebih-lebih lagi, dinamikan itu
tergambar jelas pada pasal 99 UU No 22 tahun 1999 yang merumuskan kewenangan
desa mencakup : Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa,
Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum
dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan tugas pembantuan dari Pemerintah,
Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Mengapa Harus Kembali ?
Ada beberapa perbedaan system Desa dan Binua yang dapat diamati, antara lain (
1) Bentuk persekutuan masyarakat asli yang disebut dengan nama Binua merupakan
persekutuan wilayah ( streekgemeenschap ) yang terdiri dari beberapa kampung.
Sedangkan Bentuk persekutuan masyarakat yang dimaksud dengan Desa merupakan
persekutuan lokal ( locallegemeenschap ) yang terdiri dari beberapa dusun.
Jumlah penduduk dan potensi tenaga pemimpin lebih banyak di Binua dari pada
Desa. Mengingat dan mempertimbangkan faktor inilah Pemerintahan Hindia Belanda
pada waktu dahulu menghentikan percobaannya dengan mengganti Pemerintahan Binua
dengan Pemerintahan Dusun . ( 2 ) Masalah Kewenangan. Kewenangan Pemerintahan
Binua, meliputi Pemerintahan otonom menurut Hukum Adat, Pembinaan Adat Istiadat
dan Peradilan Adat, Hak Ulayat, yaitu Binua memiliki lingkungan kekuasaan
berada di dalam wilayah kekuasaan hukumnya (ambtsgebied), penduduknya bebas
mengerjakan tanah yang masih belum dibuka, membentuk kampung, mengumpulkan
ramuan rumah atau hasil-hasil hutan lainnya serta memungut sumber-sumber
penghasilan Binua antara lain: Pajak (balasteng), sewa bumi, (tanah), izin
mendirikan rumah (bangunan), hasil kerikil (pasir, hasil hutan; bea kayu),
pelayanan kawin, dan sebagainya.
Sedangkan kalau dilihat dari kewenangan Pemerintahan Desa hanya masalah
Pemerintahan, administrasi, pembinaan teritorial, birokrasi nasional dan tidak
otonom. Pemerintah desa juga tidak mencampuri pembinaan adat istiadat. Masalah
pembinaan adat istiadat secara terpisah diurus oleh lembaga adat (Pemangku
Adat) yaitu lembaga adat tingkat Desa. Apabila perkara adat tidak selesai
ditingkat desa, maka penyelesaiannya ditingkat kecamatan bahkan hingga
kabupaten. Disana dibentuk Dewan Adat Kecamatan dan Dewan Adat Kabupaten, malah
kondisi terakhir misalnya dibentuk pula Majelis Adat ditingkat provinsi. Dengan
birokrasi yang rumit ini, tampak sekali bahwa lembaga-lembaga adat yang
turun-temurun dirampas haknya. Adat dalam satu binua menurut warisan leluhur
menyebtukan bahwa perkara adapt hanya selesai sampai tingkat kepala binua.
Kepala binua adalah penentu hukum tertinggi diwilayahnya. Dalam arti kata
Pemerintahan Binua mengurus baik masalah Pemerintahan (otonom) maupun masalah
pembinaan adat istiadat dalam satu tangan
Bagaimana Kedepan ?
Ketika system pemerintahan binua dinyatakan berlaku, maka langkah awal yang
harus dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas pemimpin lokal dalam hal
ini kepala binua dan perangkatnya secara berkelanjutan. Pengembangan kapasitas
pemimpin merupakan salah satu konsep yang diinginkan dengan penerapan sistem
pemerintahan binua. Konsep ini sejalan dengan penurunan daya dukung ( resources
) selama ini yang terjadi dengan pemerintahan desa baik yang berupa kemerosotan
lingkungan ( dimana hutan-htan keramata ditebang, tembawang dibabat dan kompokng
diambil kayunya untuk tujuan komersil ), moralitas pemimpin yang dulunya
cendrung korup dan mementingkan diri sendiri, dan tidak mempunyai kapasitas
kepemimpinan yang mampu mengayomi seluruh rakyat diwilayahnya sehingga dalam
beberapa kasus terjadi diskriminasi warga berdasarkan segregasi etnik dan
agama, penyelewengan bantuan pemerintah, inefisiensi dan inefektivitas
pembangunan dan sejenisnya.
Pembangunan kapasitas pemimpin rakyat tingkat binua memberikan harapan yang
baik khususnya dalam kerangka mewujudkan tata penyelenggaraan pemerintahan yang
baik yaitu dalam rangka peningkatan efektivitas dan efesiensi manajemen publik
menuju realisasi tujuan yang diharapkan ( lihat visi pemerintahan binua, pen).
Dalam konteks Kabupaten Landak, konsep ini pada dasarnya mulai disadari arti
penting dan urgensinya sejak penerapan Otonomi Daerah yang terhitung 1 januari
2001. Keterbatasan kemampuan personil ( SDM ) didaerah dan lokal, tantangan
profesionalisme yang semakin meningkat oleh publik karena arus globalisasi,
AFTA dan sejenisnya serta berbagai keterbatasan daya dukung mendorong perlunya
kapasitas pemimpin lokal ditingkatkan sehingga efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan fungsi publik daerah dan binua dapat terlaksanan guna mewujudkan
tujuan yang hendak dicapai ( Ludis, 2004 ). Namun realitas politik serta
praktik-raktik penyelenggaraan pemerintahan daerah saat ini menunjukan bahwa
telah terjadi penurunan kapasitas sebagian besar pemimpin, baik dalam arti
personil maupun institusional. Banyak bukti serta anekdot yang berkaitan dengan
para pemimpin lokal seperti misalnya kepala desa serta pimpinan pemerintahan
daerah yang menunjukan betapa kualitas SDM mereka sangat memprihatinkan.
Pengetahuan umum yang berkembang dikalangan masyarakat akademik menunjukan fenomena
ini merupakan suatu keadaan yang kurang menggembirakan dalam awal
penyelenggaraan otonomi daerah.
Munculnya krisis kepemimpinan adalah salah satu akibat dari penurunan kapasitas
SDM pemimpin lokal. Dengan kapasitas yang sangat terbatas, seorang kepala desa
hanya mampu mengusulkan dan mengadakan pembangunan ditempat tinggalnya saja (
pemusatan pembangunan dimana kepala desa tinggal ). Ini kemudian meninbulkan
kecurigaan dan kecemburuan penduduk desa yang tempat tinggalnya jauh dari pusat
desa. Namun untuk mengungkapkannya secara resmi, warga desa tidak mempunyai
tempat untuk bertanya. Hal ini didasari bahwa dibanyak desa, Badan Perwakilan
Desa sebagai refresentasi kedaulatan rakyat desa belum dan tidak terbentuk.
Akibatnya, warga desa memilih warung kopi sebagai tempat untuk berkeluh kesah.
Denagn kondisi ini, semua kebijakan yang dikeluarkan kepala desa tidak pernah
ditaati warga desa.
Kondisi kapasitas barangkali tidak hanya didasarkan pada realitas seperti
diatas. Kondisi kapasitas individual yang parah dan memprihatinkan seperti ini
sebenarnya merupakan sebuah tamparan yang berat bagi awal penyelenggaraan
otonomi daerah di Kabupaten Landak. Dalam konteks yang lebih kecil, ini dapat
dilihat dari ketidakmampuan dan kekurangberdayaan pemerintah desa dalam
menyediakan dan mengelola pelayanan yang baik dan berkualitas. Fakta-fakta
menunjukan bahwa pemerintah desa ( kepala desa, pen ) hanya mampu dan sibuk
dalam mengurus dirinya sendiri ( terbukti dari anggaran rutin desa sebesar Rp
12.000.000 per tahun hanya untuk kepentingan aparat desa ) dan belum mampu
menyediakan pelayanan dan pembangunan yang prima kepada masyarakat desa. Dengan
jumlah desa 156 buah di Kabupaten Landak, anggaran pembangunan desa sangat
minim masuk dalam perencanaan APBD. Hanya desa-desa tertentu saja yang
mendapatkan “ jatah “ pembangunan dari pemerintah kabupaten, itupun kalau ada
pejabat kabupaten yang berasal dari desa yang bersangkutan atau desa tersebut
merupakan salah satu basis partai politik yang keterwakilannya di DPRD signifikan.
Mendasari diri pada pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka pembangunan
kapasitas pemimpin lokal bdari tingkat kampung hingga binua merupakan sebuah
hal yang dibutuhkan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam penyelenggaraan
pemerintahan binua kedepan. Tuntutan kapasitas tidak hanya dibutuhkan oleh
individu pemegang dan penyelenggaran pemerintahan binua secara personal tetapi
juga kolektivitas kelembagaan baik yang meliputi institusi binua maupun
kapasitas kebijakannya sehingga tercipta suatu peningkatan pemberdayaan
masyarakat.
Hal kedua yang harus segera diwujudkan adalah memberikan pemahaman secara
mendasar kepada pemerintah binua tentang prinsip-prinsip demokrasi. Prospek
kedepan perkembangan demokrasi lokal ditingkat binua akan memberikan harapan
cerah bagi Kabupaten Landak. Sebagai bagian dari pemerintahan binua, Bide
Pamane Binua ( Badan Perwakilan Binua ) merupakan ujung tombak dalam mengawal
penyelenggaraan pemerintahan binua. Implementasi demokrasi ini dalam beberapa
dekade memang belum berjalan secara optimal karena dibatasinya peran dan fungsi
kepala binua yang hanya mengurusi upacara-upacara adat maupun penyelesaian
hukum adat, namun sudah cukup memberikan peluang bagi masyarakat dibinua dalam
pertumbuhan demokrasi lokal. Dengan adanya kemandirian binua, berbagai corak
dan kekhasan binua akan tumbuh sebagai landasan untuk bersaing dengan binua
lain dan sekaligus saling menopang dalam pertumbuhan daerah. Kemandirian binua
dalam memilih pemimpin binua, wakil rakyat binua, pengelolaan keuangan dan
sumber daya alam binua ditambah lagi dengan kemampuan pemimpin yang mumpuni
akan menjadi modal dasar untuk keberhasilan otonomi binua dan pertumbuhan
demokrasi.
Kewenangan yang lebih besar yang dimiliki dalam menyalurkan aspirasi masyarakat
setempat, pengelolaan sumber daya yang ada dibinua serta pengaturan insentif
fiskal akan membuat binua lebih kompetitif karena tidak lagi bergantung “
banyak “ kepada pemerintah kabupaten. Disisi lain, dengan pemerintahan binua,
akan mengembangkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun
binua dan kampungnya. Gejala tersebut dari dulu memang tampak, namun telah
terengut oleh subsidi desa yang sekarang berubah nama menjadi dana rutin desa.
Dalam sistem pemerintahan binua, gejala untuk mengembangkan dan meningkatkan
partisipasi masyarakat mulai tampak, hal ini berarti kepedulian masyarakat
terhadap kepentingan mereka sendiri menigkat. Kondisi ini ada kecendrungan
bahwa warga binua akan selalu merespon dan berperan aktif dalam menuntut
hak-haknya sehingga mendorong pemimpin binua untuk menggunakan sumber danan dan
daya yang tersedia secara jujur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dan akhirnya partisipasi rakyat binua akan memberikan jaminan bahwa setiap
kebijakan yang diambil mencerminkan aspirasi masyarakat secara umum. Dalam
rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada, pemerintah binua kedepan hendaknya
menyediakan saluran komunikasi secara tertulis dan sebagainya agar masyarakat
binua dapat menyampaikan pendapatnya seperti pertemuan umum, dialog kebijakan,
dan sebagainya. Olehkarenanya untuk pengembangan demokrasi lokal berbasis
binua, diperlukan instrumen dasar tentang peraturan binua yang menjamin hak
untuk menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan dan adanya akses
bagi setiap warga binua untuk memperoleh informasi tentang kebijakan pemerintah
binua.
Faktor lain yang mendukung perkembangan demokrasi lokal adalah adanya kebebasan
pers. Saat ini dibeberap kecamatan telah berdiri stasiun-stasiun radio
komunitas. Sebagai media komunikasi antar komunitas, radio akan memberikan
peran yang besar dalam pendidikan publik. Dengan adanya radio, masyarakat dapat
mengungkapkan pendapatnya tentang hal-hal yang positif dan negatif terhadap
kebijakan publik. Radio dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan, saran,
pendapat, kritik dan kemungkinan alternatif terhadap kinerja pemerintah binua.
Radio bagi pemerintah binua akan merupakan masukan yang dapat memperluas
cakrawala dan wawasan secara lebih lengkap sehingga analisis terhadap
permasalahan yang dihadapi akan semakin tajam dan dampaknya keputusan yang
diambil akan semakin berkualitas. Sedangakn dampak radio bagi masyarakat
disamping memberikan informasi sebagai sarana pendidikan publik yang mampu
meningkatkan kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga binua dan
warga negara, disisi lain radio juga memberikan ruang publik untuk menyalurkan
aspirasi dan pendapat yang dapat memperngaruhi kebijakan pemerintah binua. Jadi
dengan radio komunitas akan mendorong proses demokrasi lokal ditingkat binua.
Prospek perkembangan demokrasi ditingkat binua juga didukung tuntutan tentang
penegakan hukum yang diharapkan dapat mewujudlkan keadilan bagi semua pihak
tanpa kecuali, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memperhatikan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu berdasarkan kewenangan
yang dimiliki, pemerintah binua sangat mendukung tegaknya supremasi hukum
dengan melakukan penerapan peraturan asli secara efektif yang didukung dengan
penegakan hukum secara adil dan tepat.
Munculnya fenomena lain yang mendorong berkembangnya demokrasi lokal ditingkat
binua adalah meningkatnya peran dan fungsi legislatif binua ( Bide Pamane
Binua/badan perwakilan binua ). Walaupun saat ini peran dan fungsi itu belum
berkembang karena penyeragaman desa ( penggantian susunan pemerintahan asli ),
namun meningkatnya peran dan fungsi legislatif binua akan mendorong pertumbuhan
demokrasi. Meningkatnya kapasitas pemimpin binua, adanya radio komunitas,
berfungsinya Bide Pamane Binua, penegakkan hukum serta partisipasi masyarakat
binua akhirnya akan mendorong penyelenggaraan pemerintahan binua yang
transparan, akuntabel, efektif dan efisien. Dengan transparansi akan
menciptakan kepercayaan tibal balik antara pemerintah binua dengan masyarakat
melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh
informasi yang akurat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan binua.
PRAKARSA MASYARAKAT KEMBALI KE SISTEM PEMERINTAHAN BINUA
Menutup milenium kedua, pemerintah Indonesia membuat peraturan baru mengenai
desa. Pada tanggal 7 Mei 1999 disahkan dan diundangkan Undang-Undang No 22
tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Peraturan desa yang semula ada dalam
undang-undang tersendiri ( UU No 5 tahun 1979 ) dengan undang-undang baru ini
disatukan dalam pengaturan pemerintahan daerah. Undang-Undang No 22 tahun 1999
berlaku efektif pada tahun 2001. Menyambut peluang itu, Kepala Binua,
Perangkatnya dan masyarakat adat Dayak Kanayatn yang tersebar hampir diseluruh
pelosok Kabupaten Landak bertemu dan berdiskusi di Kota Menjalin pada tanggal
3-5 mei 2001. Peristiwa inilah yang kemudian terkenal dengan PIAGAM MENJALIN,
sebuah dokumen yang berisi kritik atas pola-pola kebijakan pemerintahan desa
orde baru. Mereka menyadari bahwa semenjak dimulainya otonomi daerah dalam tahun
ini, segala daya upaya haruslah dikerahkan agar rakyat landak memrebut kembali
kedaulatannya yang dirampas oleh sistem desa.
Segala daya upaya ini dimaksudkan agar kehidupan hampir 300.000 rakyat landak
semakin membaik. Namun harapan itu dapat saja kandas sekedar sebagai sejarah
saja, bila pemerintahan yang telah terbentuk ini gagal menjalankan tugas
sejarah yang mulia ini. Kegagalan itu mereka perkirakan justru
dilangkah-langkah awal. Berhasil teridentifikasi dua hal yang dapat dijadikan
indikasi dari kemungkinan gagal atau berhasilnya pemerintahan Kabupaten Landak
kedepan yakni ( i ) pemahaman tentang hakekat dari kewenangan yang dipunyai
pemerintahan ( ii ) pemahaman tentang masalah dari rakyat landak dan
sebab-sebabnya beserta rute baru untuk memulihkan kerusakan dan meletakkan
fondasi bagi landak yang sehat dimasa yang akan datang.
Dalam diskusi kemudian muncul kesadaran bahwa Undang-undang Nomor 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa … yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan
kedudukan pemerintah desa tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana yang diamanatkan dalam bagian menimbang UU No 22/99 ada keinginan
kuat untuk membangkitkan sistem pemerintahan berdasarkan asal-usul yang bernama
binua. Seperti kita ketahui bahwa Kabupaten Landak dikenal sebagai daerah yang
kaya dengan sumber daya alam. Sumber daya mineral, minyak dan gas bumi, intan,
emas, batubara, nikel, timah, sumber daya hutan, dan lain-lain adalah sumber
kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada rakyat yang hidup turun temurun
diwilayah Kabupaten Landak. Karena itu, ungkapan Landak seperti untaian zamrud
khatulistiwa atau kolam susu di kalimantan barat merupakan ekspresi yang
menggambarkan keindahan dan kekayaan alam yang dimiliki kabupaten ini. Tetapi,
apakah kekayaan alam tersebut membawa nikmat dan telah mengantarkan rakyat
landak ke tingkat kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang dicita-citakan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945?
Pertanyaan di atas mengendap setelah lebih dari tiga decade rezim Orde Baru menduduki
singasana kekuasaan dalam sistim pemerintahaan yang otoriter dan diskriminatif
di negeri ini, dengan segala implikasi politik, ekonomi, social dan budaya
masyarakat. Pasca pemerintahan Orde Baru, di peroleh jawaban yang cendrung
bernada negatif dari sebagian besar komponen anak bangsa untuk pertanyaan
diatas, dalam pengertian bahwa era kekuasaan rezim Orde Baru dinilai tidak
mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran yang hakiki bagi seruruh rakyat
Indonesia. Tetapi, justru sebaliknya telah menimbulkan proses pemiskinan
structural yang berlangsung secara sistematik, sebagai konsekuensi dari pilihan
idelogi penguasaan sentralistik dan paradigma pengurasan sumber daya alam yang
dibangun dan digunakan selama pemerintahan Orde Baru. Untuk itulah agar pemberdayaan
Rakyat baik adat maupun rakyat non adat di kabupaten Landak betul-betul optimal
dan sejalan pula dengan fakta sejarah Asal-Usul Masyarakat di Kabupaten Landak
maka Sistem pemerintahan Desa harus diganti dengan Sistem pemerintahan Binua.
Dengan menguatnya kesadaran itu masyarakat adat Kabupaten Landak merasa
terpanggil untuk terlibat dalam partisipasi politik reorganisasi system
pemerintahan local di Kabupaten Landak. Untuk itu dilakukanlah serangkaian
pertemuan masyarakat adat pasca pertemuan tanggal 5 - 8 Maret 2002.
Untuk mengefektifkan pertemuan dan memperkuat jaringan kerja, maka pada
pertemuan ini pula, disepakati membagi wilayah Kabupaten Landak menjadi 4
wilayah besar berdasarkan Daerah Aliran Sungai ( DAS ) besar, yakni DAS Samabue
Karimawatn Sakayu’ untuk Kecamatan Menjalin, Kecamatan Mandor dan Kecamatan
Mempawah Hulu. DAS Sakayu’ Ai’ Banyuke Meranti untuk Kecamatan Menyuke dan
Kecamatan Meranti. DAS Sengahe ( Singkatan dari Serimbu-Ngabang dan Behe )
untuk Kecamatan Ngabang, kecamatan Air Besar dan Kecamatan Kuala Behe serta DAS
Sangah Tumila’ Samih untuk Kecamatan Sengah Temila dan kecamatan Sebangki.
Kemudian secara terorganisir, diadakanlah pertemuan-pertemuan susulan di 4 DAS
yang terbentuk, diantaranya : Pertemuan Masyarakat Adat DAS Karimawatn Sakayu’
di Kota Menjalin pada tanggal 4-6 Juli 2002. Forum ini dihadiri oleh 64 orang
peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan perangkatnya Pertemuan Masyarakat
Adat DAS Sangah Tumila-Samih di Kota Pahauman pada tanggal 16-19 Juli 2002. Forum
ini dihadiri oleh 51 peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan
perangkatnya.Pertemuan Masyarakat Adat DAS Banyuke-Meranti di Kota Darit pada
tanggal 26-28 juli 2004. Forum ini dihadiri oleh 73 orang peserta yang terdiri
dari Kepala Binua dan perangkatnya. Pertemuan Masyarakat Adat di DAS Sengahe di
kota Ngabang pada tanggal 8-10 Agustus 2002. Forum ini dihadiri oleh 46 orang
peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan perangkatnya. Pertemuan Masyarakat
Adat Antar DAS di Kota Pontianak pada tanggal 11-14 September 2002. Forum ini
dihadiri oleh 112 orang peserta yang terdiri dari Kepala Binua dan
perangkatnya. Pada pertemuan ini berhasil pula menyepakati untuk membentuk
organisasi masyarakat adat yang kemudian bernama Forum Komunikasi Timanggong
Binua Kabupaten Landak ( FKTB-KL ), yang diketuai oleh Bp V. Syaidina L,
seorang Timanggong dari Kec. Ngabang untuk periode hingga 2003. Forum Ini
bernama: Forum Komunikasi Timanggong Binua Kab. Landak (FKTBKL).
Dari berbagai pertemuan itu, terdapat banyak agenda yang harus diperjuangkan
masyarakat adat Kabupaten Landak melalui FKTB dan jaringannya untuk kurun waktu
hingga tahun 2003. Banyak memang kendala yang dihadapi oleh organisasi ini,
baik teknis maupun non teknis. Diantaranya ia “ terkesan ekslusif “, khususnya
bagi masyarakat adat “ etnis “ lainnya, oleh karenanya menjelang akhir masa
Pemerintahan FKTB, pada awal bulan November 2003 diadakan Lokakarya Refleksi
Gerakan Masyarakat Adat Kabupaten Landak yang diselenggarakan di Kota Menjalin.
Forum refleksi ini berhasil menyepakati bahwa FKTB harus tetap eksis untuk
mengawal perjuangan masyarakat adat, untuk itu perlu diadakan Kongres
Masyarakat Adat. Forum ini juga berhasil membentuk kepanitiaan kongres yang
diketuai oleh Bp Sabirin dari Kecamatan Menyuke. Dan disepakati untuk
dilaksanakan pada tanggal 24-28 Februari 2004 di Kampung Nangka, Desa Nangka
Kecamatan Menjalin sekitar 8 Km dari Kota Menjalin.
Menggelar Kongres Masyarakat Adat Pertama
Dalam pelaksanaan kongres pertama ini, panitia pelaksana berhasil menjalin
aliansi strategis dengan beberapa Jaringan Kerja ornop Kalbar diantaranya
Yayasan Pangingu Binua, Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara, Yayasan PAHAR,
Yayasan Sule Binua, Front Pembela Binua, Forum Komunikasi Tune Raya dan
Perkumpulan Dukun dan Pengobat Tradisional (Batra Panampukng ). Sungguhpun
demikian, aliansi ini tidak hanya dibatasi oleh ke-7 organisasi diatas, karena
dukungan untuk kongres ini terus mengalir baik dari organisasi non pemerintah
maupun pemerintah daerah diantaranya Aliansi Masyarakat Adat Kalbar, Pemerintah
Daerah Kabupaten Landak, Lembaga Bela Banua Talino dan Jaringan Pesisir dan
Pedalaman. Acara Kongres juga dimeriahkan oleh kelompok-kelompok kesenian
masyarakat adat khususnya di Sanggar Sule Binua dari kampung Sunge Banokng, Sanggar
Tumiang Tajur dari kampung Tareng dan Sanggar Dara Kantengan dari kampung Konyo
yang mengisi acara-acara budaya. Begitu banyak alasan masyarakat adat untuk
mewujudkan Kongres ini, suatu peristiwa pertama kalinya sejak Kabupaten Landak
resmi menjadi daerah otonom di Kalimantan Barat.
Kongres Masyarakat Adat berlangsung pada tanggal 26-28 Februari 2004. Peserta
Kongres tidak kurang dari 315 orang para Kepala Binua ( Singa/Timanggong ),
pasirah, pangaraga, tuha tahutn, perangkat fungsional adat binua dan
kampung-kampung, tokoh pemuda, kalangan agama dan perempuan adat dari 10
Kecamatan di Kabupaten Landak. Kongres ini juga dihadiri oleh para organisasi
pendamping, pers dan mahasiswa sebagai peninjau. Hampir 700 orang terlibat dan
menghadiri seluruh rangkaian kongres ini. Berbagai permasalahan yang mengancam
eksistensi masyarakat adat dari berbagai aspek selalu muncul selama Kongres
berlangsung. Terbentuknya Persekutuan Komunitas Masyarakat Adat Kabupaten
Landak ( PAKAT Landak ) ditetapkan oleh seluruh peserta Kongres pada tanggal 27
Februari 2004.
Untuk menyikapi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat adat dan juga
sebagai landasan untuk tindakan bersama bagi masyarakat adat diseluruh pelosok
Kabupaten Landak maka Kongres I masyarakat adat telah merumuskan dan menetapkan
4 buah garis-garis perjuangan utama yang diamanatkan kepada organisasi politik
masyarakat adat yang berbasis di Kabupaten Landak ini, sebagai berikut ;
1. Pengembalian kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur kehidupan sosial-ekonomi,
politik, hukum dan budaya masyarakat adat termasuk kedaulatan atas penguasaan
dan pengelolaan tanah, kekayaan alam dan sumber-sumber penghidupan lainnya.
Untuk menjamin itu maka masyarakat adat melalui PAKAT Landak akan
memperjuangkan adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang pengembalian
SISTEM PEMERINTAHAN BINUA.
2. Mengawal aspirasi masyarakat Adat. Seluruh peserta Kongres sepakat bahwa
aspirasi masyarakat adat secara terus-menerus dan terlembaga harus mampu
mempengaruhi proses dan keputusan-keputusan politik dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang memiliki kekhususan/ciri khas daerah yang menjamin
lestarinya adat-istiadat, bahasa, kearifan lokal dan hukum adat. Untuk itu akan
diperjuangkan agar ada muatan lokal tentang adat-istiadat, bahasa, kearifan
lokal dan hukum adat dalam kurikulum pendidikan disekolah-sekolah mulai dari
TK, SD, SLTP dan SMU dengan keterlibatan penuh masyarakat adat, LSM pendamping
serta jajaran Pemerintah Daerah dalam pembuatan kurikulumnya maupun
pengajarannya.
3. Mendukung penguatan lembaga-lembaga adat dan mengembalikan wewenang
lembaga-lembaga adat untuk menjaga ketertiban, keseimbangan dan keamanan
masyarakat adat sesuai hukum dan peradilan adat yang berlaku setempat.
4. Melakukan perundingan ulang atau penggunaan tanah dan kekayaan alam “milik”
masyarakat adat ( yang dikuasai secara turun-temurun ) yang selama ini dipakai
untuk berbagai proyek-proyek pemerintah daerah dan pengusaha seperti proyek
eksploitasi hutan, pertambangan, perkebunan, perikanan dan transmigrasi.
Berbagai rencana proyek baru didalam/diatas tanah dengan menggunakan kekayaan
alam harus didasari atas perundingan bersama masyarakat adat yang menguasainya
dan dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan.
Untuk mensosialisasikan landasan perjuangan organisasi, dengan difasilitasi
Persekutuan Komunitas Masyarakat Adat ( PAKAT ), digelar rangkaian-rangkain
pertemuan dengan berbagai pihak. Pada tanggal 16-17 april 2004, bertempat di
Dango Landak Ngabang diadakan rapat tim kerja untuk merumuskan dan menyempurnakan
Draft Raperda Binua bersama Pemerintahan Majelis Adat Budaya Melayu Kab.
Landak, LPPMA, YPB dan PAKAT. Jumlah anggota tim 16 orang dari
organisasi-organisasi diatas. Kemudian setelah Rapat Tim Kerja berakhir, pada
tanggal 17-18 April 2004, bertempat di Dango Landak Ngabang, diadakan Rapat
Pimpinan yang dihadiri oleh 16 orang Dewan Presidium dan Sekretaris jendral.
Turut hadir pula organisasi-organisasi pendukung seperti LPPMA Pontianak dan
YPB. Rapim ini menyepakati untuk menyempurnakan draft Raperda yang pernah
diusung ke DPRD Landak pada tahun 2002 lalu. Pertemuan itu dilanjutkan pagi
pada tanggal 19-20 Mei 2004, di Hotel Hanura Ngabang. Peserta berjumlah 17
orang dari MABM, LPPMA Pontianak, YPB, PAKAT dan YPPN. Seluruh peserta
pertemuan menyepakati untuk mengadakan Seminar dan Lokakarya Perencanaan
Strategis Multipihak Kabupaten Landak dengan maksud untuk mensosialisasikan
draft Raperda Binua kepada masyarakat, merumuskan rencana strategis dan
merumuskan Visi Kabupaten Landak versi masyarakat. Pada tanggal 23-26 Juni
2004, diselenggarakan Seminar dan Lokakarya Perencanaan Strategis Multipihak
Kabupaten Landak yang bertempat di Aula Gedung DPRD Landak di Ngabang. Hadir
dalam semiloka ini 103 peserta dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten
Landak. Dalam presentasinya, Ketua Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Landak (
DR (Hc) Silverius Mulyadi) serta Pangeran Ratu Keraton Landak ( Drs Gusti
Suryansyah, M.Si ) menyatakan dukungannya dengan aspirasi masyarakat adat untuk
kembali ke sistem pemerintahan binua. “ pengembalian sistem pemerintahan binua
merupakan keharusan sejarah yang tidak bisa ditolak…” demikian pendapat ketua
DAD Kab. Landak dalam makalahnya. Hadir dalam semiloka ini Ketua DPRD Landak,
Kepala BAPPEDA, Kepala BPN, Kadishutbun dan anggota DPRD Landak. Seluruh forum
peserta menyepakati agenda selanjutnya adalah sosialisasi kepada masyarakat
ditiap Daerah Aliran Sungai se-Kabupaten Landak yang berjumlah 4 DAS. Agenda
ini kemudian ditindaklanjuti oleh PAKAT Landak dengan mengadakan pertemuan-pertemuan
masyarakat adat di masing-masing DAS. Kemudian pada tanggal 7-8 Juli 2004,
bertempat di Hotel Hanura Ngabang diadakan pertemuan Kelompok Kerja Masyarakat
Adat ( KKMA ) Landak yang dihadiri oleh 21 peserta dari perwakilan kecamatan
yang disepakati dalam semiloka sebelumnya. Bersamaan dengan itu, diadakan pula
sosialiasi sistem pemerintahan binua kepada peserta. Masyarakat adat Dayak
Bukit dan Kanayatn pada tanggal 15-16 Juli 2004, bertempat di Aula Kantor Camat
Sengah Temila Pahauman mengadakan pertemuan masyarakat adat wilayah Kecamatan
Sengah Temila dan Kecamatan Sebangki. Hadir dalam pertemuan itu 87 peserta yang
terdiri dari timanggong, pasirah, pangaraga, tuha tahutn serta tokoh pemuda.
Pertemuan yang dibuka oleh Camat Sengah Temila ini merekomendasikan agar ada
prototife pemerintahan binua yang dapat dijadikan model pengembangan. Desa
Saham Kec. Sengah Temila menyatakan siap sebagai model awal penerapan sistem
ini, kebetulan Kepala Desa saham telah habis masa jabatannya dan masyarakat Saham
sepakat untuk tidak melakukan pemilihan Kepala Desa. Untuk mempermudah
sosialisasi, peserta mengusulkan agar ada buku pedoman umum sistem pemerintahan
binua.
Pada tanggal 19-20 Juli 2004, bertempat di Aula Kantor Camat Menyuke di Darit,
masyarakat adat wilayah Kecamatan Menyuke dan Kecamatan Meranti mengadakan
pertemuan. Hadir dalam pertemuan itu 76 peserta yang terdiri dari Kepala Desa,
Timanggong, Pasirah, Pangaraga, Tuha Tahutn dan unsur pemuda dan perempuan.
Pertemuan yang dibuka oleh Camat Menyuke ini dihadiri pula Kapolsek dan
Danramil Menyuke serta salah seorang anggota DPRD Landak daerah pemilihan
Kecamatan Menyuke dan Meranti, dari PSI. Peserta merekomendasikan agar kembali
kesistem pemerintahan binua harus segera diterapkan di Kabupaten Landak dengan
meminta kepada DPRD dan Bupati Landak untuk segera membahas draft Raperda yang
diusulkan masyarakat adat sejak tahun 2002.
Melihat fenomena yang berkembang dalam masyarakat adat Kabupaten Landak ini,
maka pada tanggal 27 Juli 2004, bertempat di Sekretariat PAKAT Desa Raba
Menjalin, diadakan pertemuan Pemerintahan DAS Karimawatn Sakayu’ yakni
Kecamatan Mempawah Hulu, Kecamatan Menjalin dan Kecamatan Mandor. Hadir dalam
pertemuan itu 19 orang peserta yang terdiri dari timanggong,tokoh masyarakat, unsur
perempuan dan pemuda. Peserta pertemuan merekomendasikan agar pemberitaan yang
dimuat oleh tokoh masyarakat dimedia massa hendaknya disikapi oleh masyarakat
adat. “..masyarakat yang katanya tokoh jangan memperkeruh suasana. Kalau belum
tahu sistem pemerintahan binua jangan asal omong saja, mari dekatkan diri
dengan rakyat di kampung-kampung “ ujar Dolli Matnor, Timanggong dari Kecamatan
Mandor. Selain itu, peserta menyepakati untuk merumuskan agenda pendidikan adat
diterapkan disekolah-sekolah dalam bentuk muatan lokal yang disiapkan olerh
masyarakat adat. Dan rangkaian pertemuan masyarakat adat itu dikumpulkan dalam
satu pertemuan pada tanggal 29-31 Juli 2004, bertempat di Pusat Pengembangan
Teknologi Arang Terpadu Dian Tama Toho Pertemuan ini untuk mengkonsolidasikan
gerakan masyarakat adat yang berjuang agar sistem pemerintahan binua berlaku
segera di Kabupaten Landak.