Minggu, 09 September 2012

Adat Badarah Merah bagi Penghilang Nyawa Dayak Kanayatn


Adat Badarah Merah bagi Penghilang Nyawa

Sekelompok anak-anak usia belasan tahun itu bermain perang-perangan seusai lepas sekolah. "Kami berlatih perang." Kata Bujakng Pantibuh (12) dan buuk... Utoh (11) tiba-tiba terkapar di tanah. Mendadak suasana 'perang' yang sudah ribut bertambah gaduh. Lantas senyap tatkala menyaksikan Utoh tergolek tak berdaya. Anak-anak gugup dan berteriak-teriak. Utoh... Toh... toh... bangun. 

Menyaksikan itu, anak-anak lain mendatangi rumah sang orang tua Utoh. Serta merta orang tuanya yang sedang santap siang membopong Utoh dan melarikannya ke Puskesmas terdekat. Namun, malang tak dapat ditolak, Utoh sudah tak bernyawa lagi. Ternyata, Utoh terkena bagian ulu pedang yang tepat mengenai bagian kepala belakangnya. Tak mengeluarkan darah tetapi bagian kepala itu kemudian berubah warna menjadi biru kehitam-hitaman, lebam. Tidak jelas siapa pelakunya. Tak seorang anak pun mengakuinya.

Bagi warga Dayak Kanayatn situasi seperti ini dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai antu aluatn. Ini sebabnya di kampung-kampung para orangtua selalu menegur dan melarang apabila ada putra-putrinya yang bermain-main dengan senjata tajam. "Tak boleh membawa senjata tajam untuk bermain, nanti antu aluatn," Begitulah pesan orangtua kepada sang anak tatkala mendapatkan anak membawa senjata tajam, maupun besi-besi tajam meskipun hanya sekedar untuk bermain. Larangan itu bermakna antisipasi terhadap dampak yang mengikuti membawa senjata tajam tersebut. Arti lainnya, ungkapan kekhawatiran terhadap resiko barang-barang tajam terhadap keselamatan sang anak sendiri.

Dalam konteks di atas terkena kasus menghilangkan nyawa/membunuh namun tidak disengaja. Ini sudah tergolong adat badarah calah (adat berdarah merah-Red.). Menurut Sudarman, Pasirah Adat Katimanggongan Pontianak, adat badarah calah adalah jenis pelanggaran yang dapat berakibat langsung/tidak langsung kepada nyawa seseorang termasuk menghilangkan nyawa, baik yang mengeluarkan darah maupun tidak dan akibat penganiayaan dan lain-lain.

Pihak yang menyebabkan nyawa hilang itu akan dikenakan denda adat yakni raga nyawa atau pati nyawa. Sebenarnya adat raga nyawa adalah denda adat atas perbuatan seseorang yang mengakibatkan orang lain meninggal karena tusukan benda tajam atau api/dipukul akibat perkelahian dan lain-lain.

Adat badarah calah membagi jenis penghilangan nyawa dalam 3 kategori. Pertama, menghilangkan nyawa secara tak sengaja. Kedua, menghilangkan nyawa orang lain yang diikuti atau didahului oleh suatu perbuatan kejahatan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya atau memastikan penguasaan barang yang diperoleh dengan kekerasan. Ketiga, menghilangkan nyawa orang lain yang diikuti dengan rencana terlebih dahulu.

Secara umum untuk kasus yang berkaitan dengan menghilangkan nyawa orang lain dikenai sanksi adat 24 tahil 10 amas, babi 6 real, bakapala jampa, batutup pahar, bakatarajunan manyanyi, baruba siam. Ditambah adat pamabakng. Siam balis/ panyimah tanah. Babi lima suku. Kemudian ada pamihara mati (ongkos penguburan bagi keluarga yang ditinggalkan). Rincian batangan tubuh, basuayak, siam waris, siam pahar timanggong, siam manyanyi pasirah, kelengkapan sakral paraga adat sebagai Uba'atn datnya.

Sedangkan apabila disengaja maka dikenai sangsi adat Pamabakng ditambah uba'atn 9 tahil tangah babi 4 real karena dilakukan dengan kekerasan. Sedangkan apabila menghilangkan nyawa orang lain yang diikuti dengan rencana terlebih dahulu dikenai sangsi adat Pamabakng ditambah Ubaatn 9 Tahil Tangah Jalu 4 real karena direncanakan.

Memang, dalam konteks ini nyawa hilang pada saat anak-anak bermain. Berarti tidak disengaja. Pihak yang dihukum adalah kolektif, seluruh anak. Di masyarakat Dayak kejadian serupa sering terjadi. Menurut Sufi'i, belum lama berselang di Saleh Kec. Aur Sampuk ada kejadian abang kandung, Ardi (12) mencederai adik kandung sendiri, Tia (6) dengan pistol. Semula, dianggap tidak berpeluru ternyata ujung besi itu memuntahkan peluru tepat mengenai kaki sang adik. 

Dalam kasus seperti ini semestinya Ardi terkena hukum adat balah nyawa yakni suatu perbuatan yang menyebabkan oranglain luka berat akibat pukulan atau tusukan benda tajam. Timbangan adatnya 12 tahil 10 amas babi 6 real. Hukum Adat itu dibayarkan abang yang mencederai kepada sang adik, sebagai korban. Sebagai uba'atn adatnya, adat pamabakng, sarakng darah (siton kumakng), babuis di tempat kejadian/muang balis. Ongkos pengobatan, siam waris, siam Pahar Timanggong, Siam manyanyi pasirah dan kelengkapan sakral paraga adatnya. 

Sumber
Tamen, Maria Goreti. Adat Badarah Merah bagi Penghilang Nyawa. Majalah Kalimantan Review Edisi Reguler Nomor 100 Tahun XII - Desember 2003

0 komentar:

Posting Komentar