Mencari
keabadian..Ngago ka'kakalatn.. Mencari sebuah keabadian di dunia yang fana ini
bukanlah suatu hal yang mustahil. Keabadian dapat di capai dengan banyak cara,
malalui penemuan yang berarti....seperti Einstein, Thomas A. Edison, dan banyak
lagi....atau dalam bentuk negatif seperti Polpot, Hitler dkk. melalui
tulisan-tulisan ringan yang akan saya coba buat mungkin saya bisa menemukan
suatu bentuk keabadian saya....semoga. Amin
Minggu, Januari 30, 2011
Sabtu, 22 Januari 2011 yang lalu menjadi hari yang
penting bagi masyarakat Adat Dayak dan Prof. Dr. Thamrin Amal Tomagola. Pada
hari ini, Prof. Thamrin akhirnya datang ke Palangka Raya, untuk menjalani
pengadilan adat atas dirinya, terkait pernyataannya yang menyinggung perasaan
masyarakat Suku Dayak ketika menjadi saksi ahli pada persidangan kasus video
porno Ariel di PN Bandung pada 2 Desember 2010 lalu, oleh Pengadilan Adat Dayak
se Kalimantan. Sebelum menjalani persidangan di Betang Eka Tinggang Nganderang,
sosiolog UI ini menggelar jumpa pers untuk melakukan permintaan maaf secara
nasional. Adapun isi dari pernyataan maaf ini nantinya juga akan menjadi bahan
pertimbangan tujuh Mantir hai ( Hakim Agung ) yang terdiri dari mantir-mantir
dari Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Kalbar, dalam mengambil keputusan. Dalam
persidangan yang diberi nama “Persidangan Adat Dayak Maniring Tuntang Manetes
Hinting Bunu” atau dalam Bahasa Indonesia berarti “ memutus dendam yang
berkepanjangan dalam menuju perdamaian kearah yang lebih baik antara masyarakat
Dayak dengan yang disidangkan” ini keamanan Sang Prof untuk datang diadili
selain dijamin oleh pihak keamanan juga oleh pemuka-pemuka adat Dayak di
Kalteng selaku penyelenggara. Hasil dari persidangan ini adalah final dan
mengikat, keputusan yang dihasilkan tidak dirasakan dan kelihatan berat karena
tujuannya adalah untuk menyelesaikan persoalan. Namun jika terjadi pelanggaran
oleh pihak yang diadili, maka berat resiko yang mungkin terjadi akan berada
diluar dugaan dan jarak geografis tidak akan bisa mengganggu resiko.
Dalam pengadilan adat yang memakan biaya sebesar 265
juta ini (berasal dari berbagai sumbangan dan kas MADN ), pasal-pasal yang akan
dikenakan kepada Sang Sosiolog UI tersebut ditetapkan oleh Mantir Hai. Menurut
A. Teras Narang, Presiden majelis Adat Dayak nasional (MADN) akan diambil dari Hukum Adat Dayak yang disepakati di TUmbang
Anoi pada tahun 1894 yang diterima dan berlaku untuk seluruh Suku Dayak di
seluruh Pulau Kalimantan, termasuk Sabah dan Sarawak. Bertindak sebagai Tim
Jahawen ( Jaksa) dalam pengadilan ini adalah Drs Lukas Tingkes, Sabran Achmad,
Dr Siun Jarias, Marthen Ludjen, Ny Inun Maseh, dan Guntur Talajan SH MPd.
Prosesi persidangan diawali dengan masuknya Tim
jahawen (tim enam) selaku penuntut hukum adat ke dalam ruang sidang , kemudian
pelanggar adat ( Thamrin Tamagola) dipanggil memasuki ruangan dan menduduki
kursi yang sudah disediakan menghadap majelis hakim adat ( Mantir Hai ).
Selanjutnya Mantir Hai bersama Presiden MADN memasuki ruang siding. Sidang
diteruskan dengan penyerahan Sangku Basara, yang melambangkan bukti penyerahan
sengketa adat kepada majelis sidang adat, oleh satu orang perwakilan tim enam
dan satu orang dari pihak Thamrin Tamagola, lalu Ketua Majelis Sidang Adat
menyatakan bahwa persidangan dibuka dan terbuka untuk umum. Selanjutnya tim
enam selaku penuntut membacakan tuntutannya yang terdiri atas 5 tuntutan yang
mengacu kepada hasil kesepakatan Tumbang Anoi 1894. Tuntutan itu adalah
membayar lima pikul garantung yang diserahkan kepada majelis sidang adat,
meminta maaf di depan masyarakat Dayak di depan persidangan dan melalui
berbagai media lokal dan nasional, kemudian mencabut hasil penelitiannya, dan
mencabut pernyataannya pada saat sidang Ariel peterpan, serta membayar uang
denda (Singer) untuk upacara adat sebesar Rp 77.777.777.
Setelah menskor sidang selama sekitar 10 menit untuk
membicarakan keputusan, akhirnya Mantir Hai membacakan keputusan dan
menjatuhkan hukuman terhadap Thamrin. Hukuman tersebut adalah :
1. Meminta maaf kepada seluruh majelis sidang dan hadirin
atas pernyataannya yang melukai suku Dayak.
2. Membayar denda berupa gong garantung kepada presiden MADN,
3. Membayar semua biaya pelaksanaan sidang adat yang nilainya sekitar Rp77.777.777
4. Mencabut semua pernyataan yang pernah dia ucap tentang suku dayak yang biasa berhubungan intim tanpa ikatan pernikahan di pengadilan negeri Bandung, pada persidangan kasus asusila yang diperankan oleh Ariel Peterpan
5. Memusnahkan hasil risetnya yang mendiskreditkan suku dayak itu.
2. Membayar denda berupa gong garantung kepada presiden MADN,
3. Membayar semua biaya pelaksanaan sidang adat yang nilainya sekitar Rp77.777.777
4. Mencabut semua pernyataan yang pernah dia ucap tentang suku dayak yang biasa berhubungan intim tanpa ikatan pernikahan di pengadilan negeri Bandung, pada persidangan kasus asusila yang diperankan oleh Ariel Peterpan
5. Memusnahkan hasil risetnya yang mendiskreditkan suku dayak itu.
Atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya sang Sosiolog
UI menerima dengan tulus. “Saya meminta maaf kepada seluruh masyarakat dayak,
atas pernyataan saya yang menghina, menistakan, dan melecehkan Suku Dayak di
Indonesia. Dan dengan tulus ikhlas, saya akan menerima dan menyanggupi semua keputusan
dari majelis sidang adat,” kata Prof Thamrin dengan penuh penyesalan.
Demikianlah akhir dari perjalanan kasus ikut
meramaikan Nusantara, Kalimantan khususnya, selama hampir 2 bulan ini. Sesuai
dengan tujuannya yang tercermin dalam nama persidangannya maka setelah
keputusan yang diambil dalam persidangan ini, dan diikuti oleh pelanggar adat,
yang dalam hal ini Prof Dr Thamrin Amal Tamagola, tidak ada lagi dendam di
antara masyarakat dayak dimana pun berada dengan Prof Thamrin. Kiranya
peristiwa ini menjadi sebuah momentum yang semakin memperkuat dan
memperteguhkan persatuan dan kesatuan bangsa demi kebangkitan dan kejayaan
masyarakat Dayak di tengah-tengah heterogenitas suku-suku bangsa di Nusantara
dalam bingkai NKRI.
Sumber :
1. http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/01/21/pengadilan-adat-dayak-terhadap-prof-dr-thamrin-amal-tomagola/
2.
http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/04/18/penyeragaman-96-pasal-hukum-adat/
3.Pontianak PostMinggu, 23 januari 2011 : Thamrin
diganjar lima tuntutan minta maaf di sidang Adat dayak
Senin, Januari 10, 2011
Kemarin,
Minggu 9 Januari, saya menerima sms dari salah seorang murid saya yang kini
kuliah di salah satu Universitas di Surabaya,Magrita Inggrit, yang mengabarkan
bahwa masyarakat Dayak sedang ramai berdemo terkait pernyataan seorang profesor
bahwa free sex di masyarakat Dayak adalah hal yang biasa. Sayangnya saat saya
menanyakan lebih detail mengenai masalah ini dia tidak bisa menjelaskan. lalu
saya kira ini hanyalah isu kecil, dan saya melupakannya. Namun siang tadi, saat
sesi kedua kursus di LBI-UI salemba, saya kembali menerima sms dari salah seorang
rekan dari Dango Khatulistiwa Jakarta yang mengajak melakukan aksi di depan
istana bersama ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat, Bpk. Cornelis (sekarang
Gubernur KalBar), pada hari Rabu tanggal 12 Januari 2011 nanti. Adapun aksi ini
bertujuan untuk meminta klarifikasi dari prof. Dr. Thamrin Amal Tomagola, Guru
Besar FISIP UI, mengenai pernyataannya yang menyatakan bahwa "Dari hasil
penelitian saya di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh
sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah, hal itu dianggap sebagai
pembelajaran seks," saat memberikan kesaksian sebagai saksi ahli yang
meringankan pada kasus persidangan video porno Ariel di PN Bandung pada Kamis,
2 Desember 2010 lalu.
Penasaran dengan kasus ini maka selesai sesi kursus saya langsung googling dengan menggunakan key words "prof dr thamrin" maka saya langsung mendapatkan 86.600 hasil dalam 0,08 detik. Setelah membaca duduk persoalan sebenarnya ( di kompasiana , Jurnal Toddopuli ) saya merasa sangat marah, apalagi kebetulan saya dilahirkan dengan entitas ke-Dayak-an saya, bahwa hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap masyarakat Dayak yang sangat menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Jangankan untuk melakukan seks bebas, berduaan ditempat gelap/sepi saja maka muda-mudi Dayak akan langsung di hukum adat dan dinikahkan. Selain itu, sebagai salah seorang alumni UI saya merasa malu karena seorang Guru Besar dari salah satu kampus terbaik di Negeri ini memberikan pernyataan yang sifatnya melecehkan suatu etnik, memancing perpecahan suatu bangsa, dan diperoleh dari penelitian yang tidak valid. Bagaimana mungkin seorang profesor (+ Dr ) mengambil sebuah kesimpulan dari penelitian suatu etnik hanya dengan mengambil sampel dari 10 responden ? Apakah ini menjadi sebuah cerminan betapa buruknya riset di negeri ini. semoga saja tidak.
Pernyataan prof. Dr. Thamrin ini telah mendatangkan berbagai protes dari masyarakat Dayak, Baik di Internet, penggelaran aksi di sejumlah tempat seperti Pontianak, Palangkaraya dan Jakarta, juga protes tertulis dari sejumlah Organisasi Pemuda, Adat dan LSM yang berhubungan dengan masyarakat Dayak. Mereka semuanya mengutuk pernyataan tidak berdasar Sang profesor tersebut dan menuntut dia untuk segera meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak dan di jatuhi hukum Adat.
Diantaranya :
Aktor kawakan yang juga putra Dayak, Piet Pagau, pada 6 januari 2011 pukul 12.08 menulis di FB: “Sdra2ku sebangsa setanah air, krn sdh menyangkut harga diri, martabat, harkat kita Bangsa DAYAK, hrp sdr2ku yg Pengurus Perkumpulan, Kekeluargaan, Paguyuban, Forum Dayak 4 Provinsi Kalimantan, membuat pernyataan tertulis dan sampaikan langsung ke PN BANDUNG, menolak kesaksian Prof. Thamrin Amal, agar Majelis Hakim mengabaikan kesaksian tsb dalam pertimbangan vonis kasus Ariel krn apa yg dikatakannya dalam kesaksian tsb adalah tdk benar dan ybs harus minta maaf secara terbuka kepada bangsa kita melalui media massa. Tembuskan ke semua media cetak / elektronik yg memuat berita tsb dan ke UI. Saya siap turut bertanda-tangan”
Penasaran dengan kasus ini maka selesai sesi kursus saya langsung googling dengan menggunakan key words "prof dr thamrin" maka saya langsung mendapatkan 86.600 hasil dalam 0,08 detik. Setelah membaca duduk persoalan sebenarnya ( di kompasiana , Jurnal Toddopuli ) saya merasa sangat marah, apalagi kebetulan saya dilahirkan dengan entitas ke-Dayak-an saya, bahwa hal ini merupakan suatu bentuk penghinaan terhadap masyarakat Dayak yang sangat menjunjung tinggi nilai moral dan etika. Jangankan untuk melakukan seks bebas, berduaan ditempat gelap/sepi saja maka muda-mudi Dayak akan langsung di hukum adat dan dinikahkan. Selain itu, sebagai salah seorang alumni UI saya merasa malu karena seorang Guru Besar dari salah satu kampus terbaik di Negeri ini memberikan pernyataan yang sifatnya melecehkan suatu etnik, memancing perpecahan suatu bangsa, dan diperoleh dari penelitian yang tidak valid. Bagaimana mungkin seorang profesor (+ Dr ) mengambil sebuah kesimpulan dari penelitian suatu etnik hanya dengan mengambil sampel dari 10 responden ? Apakah ini menjadi sebuah cerminan betapa buruknya riset di negeri ini. semoga saja tidak.
Pernyataan prof. Dr. Thamrin ini telah mendatangkan berbagai protes dari masyarakat Dayak, Baik di Internet, penggelaran aksi di sejumlah tempat seperti Pontianak, Palangkaraya dan Jakarta, juga protes tertulis dari sejumlah Organisasi Pemuda, Adat dan LSM yang berhubungan dengan masyarakat Dayak. Mereka semuanya mengutuk pernyataan tidak berdasar Sang profesor tersebut dan menuntut dia untuk segera meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak dan di jatuhi hukum Adat.
Diantaranya :
Aktor kawakan yang juga putra Dayak, Piet Pagau, pada 6 januari 2011 pukul 12.08 menulis di FB: “Sdra2ku sebangsa setanah air, krn sdh menyangkut harga diri, martabat, harkat kita Bangsa DAYAK, hrp sdr2ku yg Pengurus Perkumpulan, Kekeluargaan, Paguyuban, Forum Dayak 4 Provinsi Kalimantan, membuat pernyataan tertulis dan sampaikan langsung ke PN BANDUNG, menolak kesaksian Prof. Thamrin Amal, agar Majelis Hakim mengabaikan kesaksian tsb dalam pertimbangan vonis kasus Ariel krn apa yg dikatakannya dalam kesaksian tsb adalah tdk benar dan ybs harus minta maaf secara terbuka kepada bangsa kita melalui media massa. Tembuskan ke semua media cetak / elektronik yg memuat berita tsb dan ke UI. Saya siap turut bertanda-tangan”
Selasa, 4 Januari 2011 sebanyak 23
organisasi dan LSM yang berhubungan dengan masyarakat adat Dayak di Kalimantan
Barat mengirim surat protes kepada kompas.com dan inti dari
surat terbuka tersebut dimuat
kompas.com esok harinya. Ke-23 lembaga tersebut
menyatakan:
1. Bahwa pernyataan tersebut telah
mendiskreditkan dan menimbulkan persepsi negatif publik terhadap masyarakat
Dayak bahkan menjurus ke arah fitnah yang merendahkan harkat, martabat dan
harga diri masyarakat Dayak secara keseluruhan.
2. Bahwa pernyataan di atas
menunjukkan yang bersangkutan tidak sensitif dan tidak memahami keberagaman
suku bangsa di Indonesia pada umumnya, dan khususnya suku bangsa Dayak secara
utuh.
3. Bahwa hasil penelitian yang
dirujuk tersebut tidak akurat karena menggeneralisir semua suku bangsa Dayak.
Untuk diketahui, di Kalimantan Barat saja ditemukan sejumlah 151 sub suku Dayak
(lihat “Mozaik Dayak: Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan
Barat”, Pontianak: Institut Dayakologi, 2008).
4. Bahwa pernyataan tersebut telah
mempertaruhkan dan mengorbankan harkat, martabat dan kredibilitas suku bangsa
Dayak secara keseluruhan hanya demi membela kasus asusila video porno mirip
Ariel.
5. Bahwa pernyataan tersebut telah
melukai hati dan meresahkan masyarakat Dayak.
Berdasarkan poin 1, 2, 3, 4, dan 5
di atas, maka Kami mendesak Saudara Prof. Dr. Tamrin Amal Tamagola untuk:
1. Menyampaikan klarifikasi secara
tertulis melalui media massa nasional (elektronik maupun cetak).
2. Mencabut pernyataan pada
Kompas.com (Kamis, 30/12/2010) yang dimuat di media massa nasional (elektronik
maupun cetak).
3. Menyampaikan permintaan maaf
secara tertulis kepada suku bangsa Dayak secara keseluruhan yang harus dimuat
pada media massa nasional (elektronik maupun cetak).
Surat tertanggal 4 Januari 2011 tersebut disampaikan 23 lembaga, antara
lain Yayasan
Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK), Pontianak, Institut Dayakologi, Lembaga Bela
Banua Talino (LBBT), WALHI Kalbar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) Kalbar, Lembaga
Dayak Panarung (LDP) Kalteng, AMAN Kalteng, Perkumpulan Nurani Perempuan,
Samarinda Kaltim, Lembaga
Pemberdayaan Pergerakan Rakyat (ELPAGAR) Kalbar, Lembaga Adat Dayak Tobak, Sanggau,
Kalbar, Aliansi
Masyarakat Adat Banua Ningkau (AMA-BN) Sintang, Kalbar, Gerakan Masyarakat Adat Kabupaten
Melawi (GEMA-KAMI) Kalbar, Persatuan Masyarakat Dayak Limbai
(PERMADALI), Melawi Kalbar, Gerakan Masyarakat Adat Serawai
(GEMAS), Sintang Kalbar, Persatuan Masyarakat Dayak Ransa
(PEMADAR), Melawi Kalbar, PERUGOK MACAN MAYAO, Sanggau Kalbar, FORMALAK
(Forum Mahasiswa Landak) Kalbar, Sekretariat Masyarakat Adat Dayak
(SKAK-MAD) Kapuas Hulu, Kalbar.
Tanggal 6 Januari 2010 Forum
facebooker Aliansi Penulis Dayak (APD) mengirim surat protes kepada redaksi
www.kompas.com dan ditembuskan ke Dewan Pers, PWI dan AJI terkait pemberitaan
portal kompas.com tersebut.
APD menyampaikan protes keras atas
berita yang dimuat portal www.kompas.com tertanggal 30 Desember 2010.
“Pernyataan Pro.Thamrin Amal Tamagola tersebut jelas merupakan fitnah, kabar
bohong, rasis dan telah menimbulkan kebohongan. Kami sangat menyangkan
www.kompas.com memuat pernyataan Prof. Thamrin tersebut tanpa melakukan cek,
ricek dan tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan dari pemberitaan
tersebut,” tulis pernyataannya.
Menurut APD, pemberitaan tersebut
telah melanggar UU Pers, UU ITE dan KEWI.
Sesuai Pasal 5 ayat (1) UU Pers
Nomor 40 tahun 1999 yang berbunyi: “Pers nasional berkewajiban memberitakan
peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan
masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.
Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berbunyi: “Setiap
Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).
Pemberitaan di rubric entertainment
kompas.com tanggal 30 Desember 2010 tersebut juga melanggar Kode Etik
Jurnalistik Wartawan Indonesia yang ditetapkan di Jakarta 14 Maret 2006. Yakni
:
Pasal 3:Wartawan Indonesia selalu
menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan
opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
(Kompas.com tidak melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu dan tidak berimbang).
(Kompas.com tidak melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu dan tidak berimbang).
Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
(berita yang dimuat Kompas.com adalah bohong dan fitnah).
(berita yang dimuat Kompas.com adalah bohong dan fitnah).
Pasal 8: Wartawan Indonesia tidak
menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap
seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin,
dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat
jiwa atau cacat jasmani. (berita yang dimuat Kompas.com adalah bohong dan
fitnah).
Pasal 10: Wartawan Indonesia segera
mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai
dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.(Kompas.com
tidak segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak
akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembacanya).APD meminta agar
Redaksi kompas.com mencabut berita tersebut dan meminta maaf kepada masyarakat
Dayak karena secara jurnalistik dan secara hukum berita tersebut telah
melanggar UU Pers dan UU ITE.
Terkait pernyataannya yang kontroversial tersebut Prof. Dr. Thamrin meminta maaf.
Makin meluasnya protes dan kemarahan masyarakat Dayak di Indonesia nampaknya membuat Prof. Dr. Thamrin dengan berat hati harus meminta maaf. Abdon Nababan, Sekjen AMAN melalui milist adatlist@yahoogroups.com mem-fowardkan surat elektronik berisi klarifikasi dan permintaan maaf dari Prof. Dr. Thamrin Amal Tamagola. Berikut isinya.
Kepada Seluruh saudaraku warga
masyarakat Dayak yang saya hormati, Pertama-tama dan yang paling utama dengan
segala kerendahan hati saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya telah
menyinggung kehormatan warga Dayak dan adat-istiadatnya yang mulia. Sebagai penjunjung
asas bhinneka tunggal ika saya berupaya bersama-sama banyak teman senusantara
untuk memuliakan asas kebhinekaan sampai kapanpun.
Kedua, saya berkewajiban untuk
mengklarifikasi apa yang sesungguhnya terjadi dan terucapkan dalam kesaksian
saya di peengadilan kasus Ariel di Bandung, 30 Desember yang lalu. Adalah saya
yang menawarkan diri lewat suatu acrara di TV One untuk menjadi saksi ahli yang
meringankan. Tawaran itu saya berikan karena menurut pendapat saya, kasus Ariel
itu menyangkut hak-pribadi dasar warganegara. Dengan bersaksi saya ingin
menegakkan prinsip-prinsip dasar dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara-bangsa. Karena saya menolak imbalan dalam bentuk apapun untuk
kesaksian yang saya berikan. Keluarga Ariel pernah menawarkab ‘fee’, akomodasi
dan transportasi. Semuanya saya tolak. Dalam kesaksian saya, saya menekankan
tiga nilai fundamental: kemajemukan, toleransi dan penghormatan atas keunikan
suatu budaya.
Selama hampir 1 jam saya berupaya
meyakinkan majelis hakim tentang penjunjungan ketiga nilai fundamental itu.
Hakim Ketua, meminta contoh konkrit. Saya lalu mengacu pada temuan penelitian
kualitatif saya sewaktu menjadi konsultan di Depertemen Transmigrasi tahun
1982-1983. Pennelitian kualitatif saya lakukan di Kalimantan Barat dan Papua
Selatan. Pada masing-masing lokasi saya melalukan wawancara mendalam dengan 10
ibu-ibu usia subur sebagai informan saya. Kepada majelis hakim saya tegaskan
bahwa atas dasar hanya 10 informant, temuan saya samasekali tidak dapat
digeneralisasi terhadap semua puak dan warga Dayak. Paling banter, temuan itu
hanya sebagai petunjuk-petunjuk sementara yang masih perlu diuji lagi.
Sewaktu berhadapan dengan wartawan
di laur sidang, dengan bertubi-tubinya pertanyaan wartawan, saya samasekali
tidak sempat menjelaskan secara detail seperti yang saya kemukakan di ruang
sidang pengadilan. Saya sangat menyesal tidak menyiapkan penjelasan tertulis
untuk dibagikan pada wartawan. Akhirnya yang termuat di media adalah kutipan
sepotong-sepotong yang ‘out of context’. Sangat dapat dimengerti bila
saudara-saudara saya warga Dayak sangat tersinggung dan marah oleh pemberitaan
seperti. Saya sungguh-sungguh menyesal telah menimbulkan amarah, yang wajar
dari seluruh warga masyarakat Dayak, dan untuk itu, sekali saya memohon maaf yang
sebesarnya. Saya belajar banyak dari kesalahan ini dan berjanji pada diri saya,
khususnya kepada seluruh warga masyarakat Dayak, dan umumnya kepada semua warga
masyarakat adat nusantara, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa
depan.
Semoga semua kita tetap rukun dan
damai dalam kebhinnekaan nusantara kita. Salam kebhinnekaan.
Tamrin Amal Tomagola Pada Jum, 07
Jan 2011 14:38
Namun nasi sudah menjadi bubur, permintaan maaf melalui media saja belumlah cukup. Masyarakat dayak adalah masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat. Pernyataan profesor tersebut sudah melukai ratusan bahkan puluhan ribu hati masyarakat dayak,maka secara adat Beliau harus di hukum adat.
Menurut YP Laway, seorang professor adalah intelektual, berpangkat, terpandang, status beda jauh dengan masyarakat biasa. ”Karena salah nunjuk saka salah, kepangpang buruk/ngiring kora kepote, kotam kebubu. Maka apa yang disampaikannya sehingga melukai komunitas masyarakat maka dalam hukum adat bisa juga dianggap membutakan mata, memburukn hati, mencapa babahn, menikam hati mambar darah,” kata YP Laway, pemuka masyarakat yang berdomisili di Sandai. Karena itu, tak cukup dengan permintaan maaf melalui SMS/media massa. Karena adat Dayak itu hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Hidup bapamalu, mati bapamali. Jadi harus ada agah pandir tutur kata basungk adat pada masyarakat adat melalui para tetua petinggi adat. Baru adat cicil harisnya dengan maksud memberitahu bahwa acara beradat dan hukum adat selesai. Ia menjelaskan hukum adat dilakukan atas dasar: Fakta, realita, cepat, tepat, lugas dan tuntas. “Hukum adat tidak ada peninjauan kembali setelah basurungk adat maka dianggap beres keseluruhan,” kata pria yang akrab dipanggil Panglima Bunga. Ia menuturkan dengan melaksanakan hukum adat akan terjadi perdamaian tuntas antara Profesor Thamrin dengan masyarakat dayak. Masyarakat Dayak tidak lagi khawatir akan terjadi bencana alam, sakit dan penyakit karena hubungan sudah dipulihkan. Semangat sudah kembali keruang, dipulihkan berkat hukum adat. Maka, dengan Pak Profesor dan masyarakat Dayak jangan melihat untung dan rugi. Tetapi esensi yang terkandung di hukum adat itu harus dilihat. (http://www.pontianakpost.com)
Belajar dari kasus ini, maka sangatlah penting bagi kita yang mengaku sebagai seorang terpelajar untuk selalu mengutamakan asas praduga tak bersalah dan berhati-hati dalam memberikan pernyataan. Jangan sampai pernyataan kita justru memberikan keresahan pada masyarakat daripada memberikan ketenangan.
http://pangalajo.blogspot.com/2011_01_01_archive.html
0 komentar:
Posting Komentar